SBMI Catat 774 Kasus Eksploitasi AKP Migran Sepanjang 2023

Ketua SBMI, Hariyanto Suwarno. (FADILA INTAN QUDSTIA/JOGLO JATENG)

SEMARANG, Joglo Jateng – Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat ada sebanyak 774 kasus eksploitasi terhadap Awak Kapal Perikanan (AKP) migran yang terlaporkan sepanjang 2023. Mayoritas kasus tersebut paling banyak dialami oleh AKP migran asal Jawa Tengah (Jateng), khususnya dari Pemalang dan Tegal.

Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Hariyanto Suwarno menyebut, kasus ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan, berdasarkan data yang dihimpun pada tahun 2022, sebanyak 45 AKP asal Jateng meninggal dunia dan jasadnya dibuang ke laut lepas tanpa izin dari keluarga.

“Ini tidak bolehkan dan sangat melanggar HAM. Laporannya berdasarkan catahu (catatan tahunan, Red.), itu hampir seluruh AKP mengalami 11 indikator kerja paksa. Mulai sebelum berangkat sampai kembali dia kembali ke keluarganya,” ucapnya kepada Joglo Jateng, belum lama ini.

Berdasarkan laporan yang diterima SBMI, kata Hariyanto, korban eksploitasi asal Jateng kerap mengalami beberapa ketidakadilan selama bekerja di atas kapal. Di antaranya, kekerasan dari atasan maupun rekan kerja asing, durasi jam kerja yang berlebihan, dan makanan yang dibedakan dengan AKP asing.

“Selebihnya masalah gaji. Misal gaji delegasi ditransfer ke manning agency (usaha keagenan awak kapal, Red.) di Indonesia, tetapi faktanya tidak sedikit manning agency yang tidak mentransfer gaji ke keluarga AKP. Maka, sering teman-teman (AKP, Red.) ada yang setahun tidak digaji, enam bulan digaji,” jelasnya.

Bahkan, ia menjelaskan, ada satu kasus dari korban yang selama tiga tahun tidak digaji. Padahal menurut pengakuan dari agensi luar negeri, penghasilan itu sudah ditransfer ke manning agency di Indonesia.

Hariyanto menyebut, masyarakat Kabupaten Pemalang dan Tegal memiliki puluhan manning agency yang beroperasi di Jateng. Beberapa tahun terakhir, ada dua perusahaan yang diberikan sanksi oleh Kementrian Perhubungan (Kemenhub) karena terindikasi melakukan praktik TPPO.

“Pengawasannya sangat lemah terhadap manning agency dan ini berkontribusi pada pelanggaran hak AKP yang terjadi,” ujarnya.

Apabila AKP migran mengalami atau mengetahui dugaan pelanggaran HAM, lanjut Hariyanto, mereka bisa melaporkan hal tersebut ke pemerintah atau organisasi masyarakat sipil seperti SBMI.

Sementara itu, Ocean Campaign Team Leader Greenpeace Indonesia, Afdillah menyampaikan, pihaknya membuka ruang mitigasi internasional bagi setiap perusahaan bisnis ritel seperti supermarket di Amerika Serikat, yang bekerja sama dengan perusahaan kapal penangkap ikan. Apabila mengetahui adanya proses eksploitasi terhadap AKP migran, mereka diminta segera dilaporkan hal tersebut kepada Greenpeace.

“Ini kan karena bisnis perikanan global yang multinegara. Jadi keuntungan (dari ekspor impor ikan, Red.) tidak hanya dari perusahaan penangkap ikan, tetapi juga dari sana (perusahaan bisnis ritel, Red.),” pungkasnya. (int/adf)