SEMARANG, Joglo Jateng – Berdasarkan data tahunan dari awal bulan Januari hingga September 2024, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Semarang mencatat sebanyak 15 kasus kekerasan terhadap anak (KTA). Dengan rincian kasus, yakni lima kasus di Kota Semarang, dua kasus di Kabupaten Cilacap, satu Kasus di Kabupaten Tegal, satu kasus anak disabilitas di Kabupaten Pekalongan, satu kasus di Kabupaten Sragen, dan lima kasus di Kabupaten Demak.
Direktur LBH APIK Semarang, Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko mengukapkan, 15 kasus itu merupakan bentuk pengaduan yang didampingi oleh pihaknya dalam proses penyelesaian litigasi. Ia menyampaikan, salah satu jenis KTA yang sedang disoroti yaitu kekerasan dengan kehamilan tidak diinginkan.
“KTA dengan kehamilan tidak iinginkan masih seringkali ditemukan bahwa dimediasikan dengan pelaku atau dinikahkan dengan pelaku. Berdasarkan catatan selama ini pelaku adalah orang terdekat korban seperti ayah kandung, paman atau guru masih belum ditemukan dalam putusan pengadilan menambahkan 1/3 hukuman tambahan,” ucapnya saat dihubungi Joglo Jateng, Rabu (16/10/24).
Bahkan, ia menerangkan, putusan pengadilan untuk pelaku masih dibawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum yakni di atas 10 tahun penjara atau seumur hidup. Seperti contoh kasus yang didampingi oleh LBH Apik di Juni lalu, pada perkara kasus KTA sampai korban meninggal dunia dengan pelaku yang merupakan paman korban sendiri dituntut tidak maksimal seumur hidup dan tidak diatas 10 tahun hukuman penjaranya.
Selain itu, putusan pengadilan juga tidak ada tambahan penjara karena pelaku adalah orang dekat korban, atau perintah pengadilan untuk mempublikasikan identitas pelaku sebagai penghukuman moral di masyarakat.
“Namun sampai sekarang penghukuman moral dari masyarakat hanya diberikan kepada korban, dengan menyalahkan korban sebagai sebab terjadinya kekerasan seksual,” jelasnya.
Di samping itu, ia juga menyoroti sepanjang 2024 ini, masih ada anak yang dipekerjakan di pinggir jalan. Mulai dari pengemis, penjual koran, hingga penjual tissu keliling di jalan raya yang rentan mendapatkan kecelakaan karena tidak ada nya pengawasan orang dewasa.
“Tak hanya itu mereka (anak) juga rentan mengalami kekerasan lainnya seperti kekerasan seksual, tidak teraksesnya hak pendidikan anak, hingga kesejahteraan tumbuh kembang anak,” ungkapnya.
Oleh karena itu, ia meminta kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang wajib memiliki sarana satu pintu yang komprehensif dalam proses penanganan kasus KTA dengan menyediakan layanan secara berkala, hingga korban benar-benar dinyatakan pulih. Hal itu selain pendampingan proses hukum korban yang telah selesai. (int/gih)