KESEHATAN dan pendidikan menjadi dua term yang tanpa henti diperbincangkan baru-baru ini, terutama semenjak program Makan Bergizi Gratis (MBG) digulirkan. Program ini tidak hanya bertujuan mengatasi kelaparan, tetapi juga menjadi bagian strategi pembangunan sumber daya manusia (SDM) jangka panjang.
Kebijakan prioritas ini sudah dijalankan di sejumlah negara yang terbukti meningkatkan kualitas gizi dan prestasi akademik siswa. Akan tetapi, keberhasilan program ini bergatung pada perencanaan yang matang, model pelaksanaan fleksibel dan alokasi pendanaan yang tepat sasaran.
Sayangnya, ada sederet problematika dalam proses pelaksanaan uji coba di beberapa wilayah. Di Batang, Jawa Tengah, 60 siswa dilaporkan menjadi korban, di Takalar, Sulawesi Selatan, 12 siswa SD juga mengalami hal serupa. Lalu di Kubu Raya, Kalimantan Barat, siswa SDN 08 Sungai Raya mengeluhkan bau tidak sedap pada makanan yang disajikan.
Tak hanya itu, implementasi MBG di daerah terpencil, seperti Krayan, Nunukan, Kalimantan Utara, yang masuk kategori 3T (tertinggal, terdepan, terluar), masih jauh dari harapan. Masalah lain muncul di Kalibata, Jakarta Selatan, di mana dapur MBG sempat berhenti beroperasi karena yayasan belum membayar mitra hingga Rp 975 juta.

Ahli gizi Universitas Muhammadiyah Kudus (Umku) Purbowati menilai program sebagai upaya peningkatan kualitas gizi anak bangsa tersebut penting dilakukan evaluasi dalam penentuan sasaran penerima manfaat. Apalagi sebenarnya program mulia ini menjadi hal penting apalagi asupan makanan yang seimbang merupakan fondasi utama dalam mendukung pertumbuhan fisik dan perkembangan otak anak.
Gizi seimbang terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral menjadi penting untuk mencegah berbagai masalah gizi, terutama stunting. Jika asupan energi dari karbohidrat tidak mencukupi, maka protein yang seharusnya berperan dalam pertumbuhan akan diubah menjadi sumber energi. Akibatnya, proses pertumbuhan anak bisa terganggu.
“Jika makanan kita padat gizi, kita punya energi untuk beraktivitas. Sebaliknya, jika makanan hanya mengenyangkan tanpa cukup gizi, konsentrasi belajar anak menjadi rendah, dan pertumbuhannya pun kurang optimal. Makanan itu sebetulnya adalah motivasi tubuh untuk merangsang otak untuk berpikir,” bebernya.
Kepala Program Studi S1 Gizi Universitas Muhammadiyah Kudus (UMKU) ini juga menekankan, stunting merupakan ancaman serius yang harus dicegah sedini mungkin. Ia menjelaskan, stunting adalah kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis. Dampaknya tidak hanya jangka pendek tetapi juga jangka panjang.
“Stunting itu pertumbuhan anak yang tidak optimal yang tidak sesuai dengan standar usia. Penyebabnya adalah kekurangan gizi kronis, mulai dari masa kehamilan hingga bayi lahir. Dampaknya jelas, performa anak lebih pendek dari anak seusianya, daya tahan tubuh rendah, rentan sakit, dan kemampuan belajarnya pun terhambat,” paparnya.