SEMARANG, Joglo Jateng – Kota Semarang telah tumbuh menjadi sebuah kota multi etnis selama berabad-abad lamanya. Hal itu lantaran, wilayah ini memiliki visi untuk menjadi titik pusat perdagangan antarmancanegara dan Nusantara.
Pegiat Sejarah, Rukardi Achmadi menyebut bahwa bahwa sejak dahulu Kota Semarang memang memiliki visi yang bagus untuk menjadi sebuah wilayah perdagangan. Hal tersebut melihat dari letak geografisnya yang berada di wilayah pesisir.
“Kota Semarang tumbuh menjadi sebuah kota multi etnis selama berabad-abad itu. Makanya mereka sudah terbiasa dengan perbedaan (antaretnis maupun agama, Red.),” ucapnya saat dihubungi Joglo Jateng, kemarin.
Sehingga, tidak heran bahwa kota ini juga sebagai tempat bertemunya pedagang dari berbagai negara dan etnis, untuk melakukan proses transaksi jual beli barang maupun rempah-rempah. Seperti contohnya, Tionghoa, Timur Tengah, Bugis, dan masih banyak lagi.
“Berdasarkan riset data dari sebuah lembaga, memang Kota Semarang itu selalu menempati posisi pertama sebagai kota yang memiliki toleran tertinggi,” jelasnya.
Menurutnya, proses terciptanya sikap toleransi itu tidak bisa diciptakan dalam tempo singkat. Berbeda dengan kota pedalaman yang penduduknya relatif homogen, atau tidak terbiasa melihat perbedaan etnis.
“Makanya masyarakat di Semarang itu sudah mengenal budaya, perilaku dan seterusnya dari etnis-etnis lain. Jadi nggak heran orang Tionghoa makan babi itu kan biasa dari dulu karena memang sudah seperti itu,” terangnya yang juga Founder Komunitas Pegiat Sejarah (KPS) Semarang.