SUARA bising lalu lalang kendaraan sore menjadi pemandangan harian bagi anak-anak yang mengais rezeki di lampu merah. Zafa (bukan nama sebenarnya) tampak tertunduk lesu saat ditanya perihal alasannya tak lagi melanjutkan bangku Sekolah Dasar (SD). Sambil terbata-bata ia mengaku letih dengan perlakuan tak nyaman dari teman sekolah yang sering memojokkannya.
“Sering dipoyoki karena cari uang di jalan. Memutuskan berhenti sekolah saat kelas 6 dan jika dihitung harusnya ini sudah SMP,” ungkapnya.
Sebagai anak laki-laki yang tak lagi punya sosok Ayah, Zafa terpaksa menjadi tulang punggung. Ia tinggal bersama sang nenek, sedangkan ibunya pergi meninggalkannya entah ke mana. Keinginan untuk sekolah tidak lagi ada dibenaknya, bahkan satu profesi atau cita-cita di masa depan saja ia tak terbayang satu hal pun.
“Trauma kalau harus sekolah lagi,” katanya menutup pembicaraan.
Zafa memang tak banyak bicara, beberapa kali ia tertegun. Nampak sedih dengan pertanyaan yang terlontar. Berbeda dengan Zafa, Alia mengaku tetap melanjutkan bangku kelas 3 sekolah dasar karena punya cita-cita besar. Ia ingin jadi dokter. Meskipun cita-cita itu harus ia tempuh dengan kepahitan masa kecilnya kini. Bahkan keinginannya untuk bermain di masa usianya juga harus dikesampingkan karena tuntunan orang tua.
“Kalau hari ini tidak dapat uang dimarahin Ayah. Tidak boleh tidur, harus cari dulu,” ungkapnya sembari melemparkan senyum manis.
Cerita Zafa dan Alia adalah hanya dua dari sekian ribu bahkan juta cerita anak tidak sekolah (ATS) atau anak putus sekolah (PTS) lain yang tak terekspose. Jutaan anak tidak sekolah di Indonesia butuh perhatian atas nasib dan kemalangannya.
Tercatat di sejumlah daerah kasus ATS masih terbilang tinggi. Di wilayah Kudus sendiri terdapat 600an ATS per 2024. Kasus ATS tetap menjadi permasalahan serius. Tak melulu karena uang atau tidak mampu secara finansial, akan tetapi banyak faktor memengaruhi, termasuk mental dan lingkungan.
Dampak negatifnya meliputi pengangguran, rusaknya moral, dan kesulitan mendapatkan pekerjaan di masa depan. Faktor-faktor penyebabnya bervariasi, mulai dari ekonomi, kurangnya minat, hingga lingkungan dan kesehatan
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kudus, Ahadi Setiawan, menilai anak tidak melanjutkan sekolah bukan hanya faktor ekonomi. Bahkan ada kasus anak dari orang tua menengah atas tidak mau melanjutkan sekolah. Bisa jadi faktor tidak adanya perhatian orang tua, guru atau problem lingkungan.