SPMB 2025: Hapus Label Sekolah Favorit, Wujudkan Pemerataan Pendidikan!

KOMUNIKASI: Bersama orang tuanya, calon peserta didik sedang melakukan konsultasi bersama tim panitia di hari pertama PPDB. (UMI ZAKIATUN NAFIS/JOGLO JATENG)

MOMEN penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang istilahnya kini berubah menjadi sistem penerimaan murid baru (SPMB) merupakan salah satu hal yang dinanti. Orang tua berlomba untuk memasukkan anaknya ke sekolah favorit sedangkan para siswa juga mempersiapkan diri agar bisa diterima di sekolah idaman mereka.

Namun, di sisi lain, berbagai cara dilakukan orang tua agar anaknya diterima di sekolah unggul. Banyak terjadi kecurangan di sejumlah daerah di momen PPDB 2024 lalu. Bentuknya beragam, mulai dari memanipulasi kartu keluarga dan jarak zonasi, jual beli kursi, merekayasa sertifikat prestasi, hingga intervensi oknum pejabat yang menitipkan siswa di sekolah tertentu.

Sayangnya, kebiasaan yang membudaya sekaligus ditambah dengan ketimpangan kualitas sekolah ini menjadi salah satu pemicu kebijakan regrouping. Stigma sekolah favorit menjadikan muncul sekolah non favorit yang akhirnya tidak bisa menjaga keberlangsungannya.

Pemerataan Kualitas Sekolah

Pemerataan kualitas sekolah sangat diperlukan untuk mencegah hal ini terus berulang. Pemerintah secara bertahap harus meningkatkan pemerataan mutu pendidikan. Pemerintah daerah seharusnya mempunyai peta jalan pemerataan mutu pendidikan tersebut. Peta ini tidak hanya untuk membenahi fasilitas dan meningkatkan kompetensi guru, tetapi juga menargetkan penambahan jumlah sekolah unggul setiap tahunnya.

”Penyebarannya juga harus merata, tidak hanya di satu titik. Akhirnya nanti sekolah unggulan akan bertebaran di mana-mana. Dengan begitu, sistem zonasi akan menjadi relevan,” kata Ketua Pengelola Program Pusat Belajar Guru (PBG) Kudus, Rizky Oktavian.

BUKA: Pusat informasi penerimaan peserta didik baru (PPDB) di salah satu sekolah di Kudus. (UMI ZAKIATUN NAFIS/JOGLO JATENG)

Ia menilai, untuk menciptakan sekolah unggulan harus dilakukan branding. Baik dengan kegiatan menarik maupun peningkatan prestasi hingga inovasi lainnya. Tentunya hal ini dilakukan dengan melihat potensi di masing-masing sekolah.

“Sekolah harus berinovasi. Khususnya SD negeri. Karena saingan kita tidak hanya sekolah negeri aja tetapi juga sekolah swasta yang memang sangat intens meningkatkan kompetensi guru, kegiatan dan program unggulan. Kalau kita tidak mengikuti ritme tersebut semakin ke sini semakin ditinggalkan,” ujarnya.

Trobosan dan inovasi harus terus dilakukan agar orang tua senantiasa memberikan kepercayaan kepada sekolah. Dalam hal ini tentu kepala sekolah harus jeli melihat aset yang bisa dimanfaatkan. Misalnya, memanfaatkan suburnya tanah desa untuk dijadikan pendidikan kecakapan hidup lifeskill, membangun jejaring dan komunikasi untuk membuat kegiatan yang menarik, hingga mengajak orang tua untuk senantiasa berkomunikasi terhadap kegiatan yang mendukung prestasi anak.

“Penggerak motornya memang kepala sekolah agar jeli melihat peluang yang ada. Sehingga setelah sekolah dibranding dengan tampilan menarik maka masyarakat akan mendatangi mereka,” bebernya.

Di samping itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah dalam hal ini disampaikan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen bahwasanya dalam kenyataannya masih terjadi kecenderungan pendaftaran yang menumpuk di sekolah-sekolah tertentu. Saat SPMB dibuka, sistemnya sempat terganggu karena lonjakan akses di jam-jam terakhir dan ini cukup membuktikan masyarakat masih melihat ada sekolah yang dianggap unggul.