Jalani Proses 3 Bulan, Boyong Tiga Nominasi Terbaik
LINGKARJATENG.COM- Kelompok Kajian Teater Tigakoma menorehkan prestasi di kompetisi monolog antaruniversitas tingkat nasional. Bahkan, tiga kategori nominasi terbaik diboyong oleh teater yang berasal dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muria Kudus (FKIP UMK) itu.
TERIAKAN dan tepuk tangan langsung menggema saat pembawa acara mengumunkan juara kompetisi monolog antaruniversitas tingkat nasional di di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Surakarta Rabu (11/3). Malam itu, menjadi sejarah bagi Kelompok Kajian Teater Tigakoma asal Kabupaten Kudus.
Bagaimana tidak, teater yang beranggotakan para calon pendidik itu mampu menyabet juara I kompetisi monolog antaruniversitas tingkat nasional.
Masing-masing yakni Juara I Penyaji Terbaik, Juara I Penata Artistik Terbaik, dan Juara I Penata Musik Terbaik.
Lomba bertajuk Art and Sport Appreciation by Economic and Business Faculty of UNS (ARTEFAC) oleh Universitas Sebelas Maret (UNS) ini diikuti 20 kelompok teater dari seluruh Indonesia.
Di antaranya dari Kudus, Semarang, Solo, Yogyakarta, Banyuwangi, Jember, Malang, Bandung, Jakarta, hingga Palu.
Ada tiga orang yang menjadi juri dalam lomba ini. Meliputi, Rangga Riantiarno, putra salah satu tokoh teater modern Indonesia Rano Riantiarno. Lalu Hanindawan, tokoh teater nasional sekaligus pimpinan Teatar Gidag-Gidig Solo. Terakhir, Irwan Jamal, teaterawan asal Bandung.
Ketua Teater Tigakoma Afif Khoirudin mengaku, bersyukur atas raihan prestasi di 2020 ini. Dalam kompetisi itu, pihaknya membawakan lakon Cermin karya Nano Riantiarno. Sementara proses latihan yang jalani, kurang lebih selama tiga bulan. “Bersyukur. Semoga jadi penyemangat untuk proses karya selanjutnya,” ungkapnya, kemarin.
Aktor monolog Cermin, Muhammad Rifqi menyampaikan, tafsir naskah ini dibebaskan dari ikatan gaya realisme yang tampak dalam proses penulisan naskah. Hal itu agar naskah dapat dieksplorasi lebih bebas.
“Hal ini dilakukan agar kami dapat leluasa menggali kemungkinan-kemungkinan dan potensi ide-ide di luar teks naskah,” jelasnya.
Menurutnya, kemungkinannya adalah, realisme sebagai bagaian dari gerakan dan sejarah seni teater tetap dihargai. “Untuk itu kami mencoba tetap meminjam gaya ini, dengan menyebut gaya kami sebagai realisme simbolis,” pungkas mahasiswa yang duduk di bangku semester empat itu. (mam/lut)