BPJS Kesehatan Defisit hingga Kapan?

Ilustrasi BPJS Kesehatan
Mahasiswa dan Dosen Magister Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

LINGKARJATENG.COM- BPJS kesehatan merupakan badan penyelenggara jaminan sosial kesehatan yang sangat identik dengan kata “defisit”. BPJS kesehatan mengalami defisit bahkan sejak awal penyelenggaraanya yaitu pada 1 januari 2014.

Jumlah deficit pada tahun 2014 sebesar Rp3,3 triliun, meningkat menjadi Rp5,7 triliun pada tahun 2015, Rp9,7 triliun pada tahun 2016, meningkat menjadi Rp9,75 triliun pada tahun 2017 dan Rp10,98 triliun pada tahun 2018 (Kemenkeu, 2020).

BPJS kesehatan mengelola asset jaminan kesehatan yang terdiri dari asset BPJS dan asset dana jaminan sosial (DJS). Sesuai dengan Pasal 41 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2011, aset BPJS bersumber dari modal awal dari Pemerintah, hasil pengalihan aset BUMN yang menyelenggarakan program jaminan sosial, hasil pengembangan aset BPJS, dana operasional yang diambil dari dana jaminan social (DJS) dan sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Penggunaan aset BPJS kesehatan yaitu untuk biaya operasional penyelenggara program JKN, biaya pengadaan barang dan jasa yang digunakan untuk mendukung operasional penyelenggara JKN, biaya untuk meningkatkan kapasitas pelayanan dan investasi dalam instrumen investasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan seperti instrument investasi pasar uang, pasar modal dan investasi langsung (Republik Indonesia, 2013).

Sumber asset dana jaminan sosial (DJS) kesehatan terdiri dari iuran jaminan kesehatan termasuk bantuan iuran, hasil pengembangan DJS kesehatan, asset program jaminan kesehatan dan sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan seperti dana talangan dari pemerintah, hibah, surplus asset DJS kesehatan atau bantuan yang lain (Republik Indonesia, 2015). Iuran jaminan kesehatan disesuaikan dengan kepesertaannya dalam jaminan kesehatan.

Anggaran DJS bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI) dibayar oleh pemerintah dari APBN dan APBD. Jumlah iuran yang dibayarkan sesuai dengan Perpres nomor 75 tahun 2019. DJS digunakan untuk pembayaran manfaat atau pembiayaan layanan JKN berupa pembayaran untuk pelayanan kesehatan perseorangan yang bersifat promotif, prevenif, kuratif dan rehabilitative, termasuk obat dan bahan medis siap pakai yang diperlukan. DJS juga digunakan untuk dana operasional penyelenggara jaminan kesehatan dan investasi dalam instrumen investasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (Republik Indonesia, 2013).

Kaitan BPJS kesehatan dengan pemerintah pusat adalah pemerintah pusat memberikan modal awal kepada BPJS sesuai dengan pasal 42 UU No. 24 tahun 2011 sebanyak Rp. 2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) yang bersumber dari APBN. Besar anggaran setiap tahunnya sesuai dengan pasal 171 UU No. 36 tahun 2009 yaitu anggaran APBN sebesar 5%. Peran pemerintah daerah terkait BPJS adalah memberikan anggaran APBD sebesar 10% sesuai pasal 24 UU No. 24 tahun 2011 dan melakukan pengawasan terkait BPJS (Jamsos, 2015). BPJS juga erat kaitannya dengan PT Askes, sesuai dengan pasal 60 UU No. 24 tahun 2011 pada awal perubahan PT Askes menjadi BPJS seluruh aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban PT askes menjadi milik BPJS.

Baca juga:  Uji Coba Masa Tanam 3 Diharapkan Panen Maksimal

Defisit merupakan masalah yang dihadapi BPJS dalam proses pelaksanaannya. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya defisit pada BPJS ada 5 yaitu fraud, ketidakpatuhan anggota BPJS, iuran peserta yang masih terlalu kecil, anggaran BPJS untuk penyakit katastropik dan tata kelola puskesmas yang buruk. Fraud (kecurangan) kerap terjadi dalam pelaksanaan program JKN. Tindakan fraud fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) tercatat sebagai tindak fraud yang paling banyak.penulisan kode diagnosis yang berlebihan (upcoding), penjiplakan klaim dari pasien (cloning), klaim palsu (phantom billing) dan tagihan berulang (repeat billing) merupakan tindakan kecurangan yang sering di lakukan FKRTL.

Tindakan fraud juga dilakukan oleh FKTP dan petugas BPJS kesehatan. Kecurangan yang dilakukan oleh FKTP yaitu memanfaatkan dana kapitasi tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Memanipulasi klaim pada pelayanan yang dibayar secara nonkapitasi, menerima komisi atas rujukan dan menarik biaya dari peserta yang seharusnya telah dijamin dalam biaya kapitasi atau nonkapitasi. Petugas BPJS sendiri juga melakukan fraud meliputi melakukan kerja sama dengan peserta maupun fasilitas kesehatan untuk mengajukan klaim palsu, memanipulasi manfaat yang seharusnya tidak dijamin agar dijamin dan membayarkan dana kapitasi tidak sesuai dengan ketentuan (Mediatama, 2019). Banyaknya kecurangan yang terjadi pada pelayanan kesehatan dan petugas BPJS menjadikan deficit BPJS menjadi terus bertambah.

Sri Mulyani mengatakan ketidakpatuhan masyarakat menjadi anggota BPJS juga menjadi faktor deficit BPJS. Kepala hubungan masyarakat BPJS mengatakan jumlah peserta BPJS baru mencapai 223,94 juta atau 83% dari total jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 269 juta orang (Victoria, 2020). Rincian jumlah peserta BPJS dapat dilihat pada tabel 1.

Baca juga:  Manfaatkan SPAM Regional untuk Suplai Air

Tabel 1. Jumlah Peserta BPJS
No.
Peserta BPJS
Jumlah Penduduk (juta)

1.
Penerima Bantuan Iuran (APBN)
96,5

2.
Penerima Bantuan Iuran (APBD)
38,8

3.
Pekerja Penerima Upah PNS
14,7

4.
Pekerja Penerima Upah TNI
1,57

5.
Pekerja Penerima Upah Polri
1,28

6.
Pekerja Penerima Upah BUMN
1,57

7.
Pekerja Penerima Upah BUMD
0,21

8.
Pekerja Penerima Upah Swasta
34,1

9.
Pekerja Penerima Upah Mandiri
30,2

10.
Bukan Pekerja
5,01

Total Keseluruhan
223,94

Ketidakpatuhan yang sering dilakukan masyarakat adalah masyarakat hanya menjadi peserta BPJS kesehatan saat sakit dan menjalani perawatan di RS, namun setelah sembuh tidak melanjutkan membayar iuran (Victoria, 2019). Tunggakan iuran juga menjadi masalah terkait defiist BPJS. Iuran peserta JKN masih terlalu kecil tidak sesuai dengan biaya operasional dalam layanan kesehatan juga menjadi salah satu penyebab terjadinya deficit (Firdaus & Wondabio, 2019). Faktor lainnya adalah anggaran BPJS tersedot untuk membiayai masyarakat yang menderita penyakit katastropik (penyakit yang membutuhkan biaya yang tinggi) seperti penyakit jantung, stroke dan lainnya yang mencapai 20% dari total pembiayaan pelayanan (Victoria, 2019).

Asosiasi klinik Indonesia (Asklin) menilai deficit BPJS kesehatan turut disebabkan karena kesalahan tata kelola puskesmas. Kesalahan tersebut dilihat dari peran puskesmas yang merambah pada fungsi pengobatan dan jembatan untuk mendapatkan rujukan ke rumah sakit. Pasien umumnya datang ke puskesmas hanya untuk mendapatkan rujukan ke rumah sakit. Selain menambah deficit pada BPJS hal tersebut juga akan menambah deficit bagi klinik pratama. Pasien lebih memilih puskesmas sebagai FKTP karena lebih mudah untuk mendapatkan rujukan ke rumah sakit, sedangkan bila ke klinik pratama pasien tidak mudah mendapatkan rujukan karena akan lakukan pelayanan terlebih dahulu di klinik pratama (Thomas, 2019).

BPJS terus berupaya untuk mengatasi masalah deficit yang terjadi. Langkah yang telah diambil oleh pemerintah untuk menekan deficit terkait fraud yang dilakukan oleh pelayanan kesehatan dan petuga BPJS yaitu melibatkan pengawasan dari lembaga independen masyarakat. BPJS menggandeng Indonesia corruption watch (ICW) untuk memperkuat lini pengawasan penyelenggaraan program JKN-KIS (BPJS, 2019). Cara lain yang telah dilakukan pemerintah untuk menekan deficit yang dialami BPJS kesehatan adalah dengan meningkatkan iuran BPJS kesehatan (Firdaus & Wondabio, 2019).

Baca juga:  BUMDes Desa Tumpangkrasak Fokus Penyediaan Internet & Kios

Kenaikan iuran BPJS telah tercantum pada peraturan presiden (Perpres) Nomor 75 tahun 2019. Besaran kenaikan iuran BPJS hingga 100% tercantum dalam pasal 34 Perpres Nomor 75 tahun 2019. Kenaikan iuran ini telah berlaku pada 1 Januari 2020. Namun Mahkama Agung (MA) membatalkan kenaikan iuran BPJS (9/02/2020) pasca 2 bulan kenaikan iuran tersebut. MA mengabulkan permohonan komunitas pasien cuci darah Indonesia (KPCDI) yang menggugat dan meminta kenaikan iuran BPJS di batalkan (Ronal, 2020). Pembatalan kenaikan iuran BPJS tentu akan menimbulkan implikasi khususnya bagi anggaran BPJS. Diduga deficit akan semakin bertambah jika kenaikan iuran tersebut dibatalkan.

Kenaikan iuran yang dilakukan oleh pemerintah merupakan strategi untuk menutup deficit anggaran BPJS. Namun, strategi penanganan deficit BPJS kesehatan harus dilakukan secara holistic, tidak hanya dengan menaikan iuran. BPJS juga harus merubah system pelayanan kesehatan tingkat pertama dengan mengembalikan fungsi puskesmas sebagai promotive dan preventif, sehingga pembiayaan BPJS khususnya rujukan ke rumah sakit bisa terkendali (Sukmana, 2019). Klinik juga bisa menjalankan fungsinya sebagai pelayanan perseorangan dan jembatan rujukan menuju rumah sakit.

BPJS sebaiknya banyak melakukan sosialisasi tentang BPJS dan arti pentingnya asuransi kesehatan kepada masyarakat agar masyarakat lebih mengerti dan memahami akan pentingnya asuransi kesehatan (Afrilia et al., 2017). BPJS juga harus membuat sanksi tegas untuk para peserta yang tidak patuh membayarkan iuran. Sosialisasi BPJS kepada masyarakat juga perlu dilakukan agar masyarakat menjadi patuh menjadi peserta BPJS dan memenuhi tujuan awal JKN yaitu Universal Health Coverage. Kebijakan cukai dan meningkatkan pajak rokok juga dapat dijadikan sebagai strategi menekan deficit pada BPJS. Pemungutan cukai dan pajak rokok tidak hanya menekan deficit, tetapi juga mengendalikan konsumsi rokok dan peningkatan kualitas kesehatan masyaraka (BPJS, 2017).(*)