Tradisi Sejarah Toponimi Kampung Bintoro Demak

Nur Qosim, S.Pd.,M.Pd. Guru SMAN 3 Demak

Oleh:
Nur Qosim, S.Pd.,M.Pd.
Guru SMAN 3 Demak

Pembahasan sejarah Kabupaten Demak pada umumnya difokuskan pada perkembangan politik kerajaan. Yakni peran Sunan Kalijaga dalam penyebaran Islam, dan pendirian Masjid Agung Demak oleh Wali Sembilan. Pembahasan secara menyeluruh hingga kini belum ada.

Pembahasan mengenai sejarah Demak secara lengkap tentu memiliki peran penting. Demak merupakan kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Sehingga dimungkinkan menjadi peletak dasar bagi  perkembangan kerajaan-kerajaan Islam berikutnya. Perkembangan globalisasi telah mengakibatkan identitas dan karakter budaya semakin hilang. Dengan demikian diperlukan upaya untuk mempertahankan karakteristik budaya daerah tersebut.

Cliffort Geertz (1960) menyatakan, identitas budaya esensial dapat dimiliki seseorang karena kesamaan daerah kelahiran, bahasa dan lain-lain yang merupakan candidate for nationhood. Maka salah satu usaha untuk dapat mempertahankan identitas adalah dengan penulisan toponimi.

Toponimi berasal dari bahasa Inggris toponym. Berarti ilmu tentang nama-nama tempat. Menurut Kridalaksana (2008), toponimi adalah cabang onomastika yang menyelidiki nama tempat. Pada gilirannya dapat diketahui nilai budaya yang dipresentasikan masyarakat suatu daerah.

Pemberian nama suatu daerah merupakan salah satu bentuk tradisi sejarah. Hal yang paling mendasar dari sebuah tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan kepada generasi muda. Nama-nama kampung di Kelurahan Bintoro Demak adalah bagian tradisi sejarah. Hingga saat ini nama-nama tersebut masih abadi dan tidak terjadi perubahan.

Baca juga:  Penerapan Metode Problem Solving Learning dalam Pembelajaran Menulis Teks Diskusi

Bintoro yang sekarang ini adalah nama kelurahan kota merupakan nama yang paling sering disebut dalam sejarah Demak. Hal ini wajar karena Bintoro merupakan ibu kota dari kerajaan Demak. Mengenai asal-usul nama Bintoro para ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda. Nama Bintoro selalu dihubungkan dengan Gelagahwangi dan Demak, sehingga disebut Gelagahwangi Bintoro Demak.

Dalam Babad Tanah Jawa dijelaskan bahwa Kasultanan Demak didirikan oleh Raden Patah setelah membuka hutan yang bernama Gelagah. Karena mengeluarkan aroma wangi maka dinamakan Gelagahwangi. Setelah pembukaan hutan, maka ditemukan pohon Bintoro, maka kemudian disebut Gelagahwangi Bintoro.

Soetjipto Wirjosoeparto dalam buku Solichin Salam (1960) menjelaskan, kemungkinan nama Bintoro berasal dari nama Betoro, yakni sebutan lain untuk Dewa Syiwa. Hal ini bisa jadi demikian karena masyarakat Demak pra Islam memang memuja Dewa Syiwa. Dugaan ini bisa dibuktikan dengan penemuan beberapa reruntuhan Candi Syiwa di Desa Pilangrejo, Gebang, Trimulyo dan Tridonorejo.

Penggunaan nama Betoro kiranya bisa dipahami karena berkaitan dengan konsep kekuasaan raja Jawa yang dipengaruhi konsep kosmologi. Dengan konsep itu raja Jawa diharapkan memiliki kekuasaan yang luas, seperti kekuasaan Dewa Syiwa (Sang Betoro).

Baca juga:  Penerapan Metode Problem Solving Learning dalam Pembelajaran Menulis Teks Diskusi

Dengan istilah itulah maka muncul istilah gung binantoro yang berarti kekuasaan yang besar dan luas. Sebutan ini kiranya sesuai dengan gelar Reden Patah, yakni Sultan Syah Alam Akbar, yang berarti raja yang memimpin alam semesta (gung binantoro).

Bagi masyarakat Jawa, alam pikiran kehidupan manusia sebagaimana disampaikan Koentjaraningrat (1994) terbagi menjadi dua, yakni makrokosmos (jagat besar) dan mikrokosmos (jagat kecil). Makrokosmos adalah struktur alam semesta jagad raya yang berpusat pada Tuhan. Alam semesta memiliki hirarki yang ditujukan dengan adanya jenjang alam kehidupan yang semakin sempurna.

Berdasarkan hasil analisa nama-nama kampung di Kabupaten Demak biasanya dapat dikategorikan menjadi lima  jenis, yakni berdasarkan (1) lingkungan geografis, (2) peristiwa-peristiwa penting, (3) ketokohan seorang pemimpin, (4) kelompok profesi dan (5) cita-cita/ harapan. Namun di kelurahan Bintoro mayoritas nama-nama kampungnya didasarkan pada kelompok profesi, kecuali Kampung Setinggil dan Tembiring yang didasarkan pada konsep geografis dan Sempalwadak yang menggambarkan sebuah peristiwa penting.

Baca juga:  Penerapan Metode Problem Solving Learning dalam Pembelajaran Menulis Teks Diskusi

Sebagaimana daerah-daerah lainnya, pemberian nama kampung terutama di perkotaan selalu didasarkan pada kelompok profesi. Hal yang sama juga yang terjadi di Kota Gede Yogyakarta sebagaimana yang dikemukakan Istiana (2012) dalam tulisannya yang berjudul Bentuk dan Makna Nama Kampung di Kecamatan Kota Gede Yogyakarta.

Nama-nama kampung kelompok profesi di Demak juga selalu berakhiran “an”, misalnya Kauman, Tirtoyudan, Gendingan, Beguron, Merbotan dan sebagainya. Menurut Purwodarminto (1981) akhiran “an” dalam penyebutan nama tempat berarti tempat pemukiman. Misalnya Beguron artinya tempat para guru.

Kerajaan-kerajaan bercorak Islam memiliki sistem tata kota yang mencerminkan filosofi kosmologi. Dalam hal ini Koentjaraningrat (1994) dalam buku Kebudayaan Jawa menjelaskan, posisi istana raja dikelilingi oleh tempat tinggal para pegawai dan orang-orang lain yang berjasa kepada istana. Maka bisa jadi perkampungan-perkampungan profesi di kota Demak tersebut sengaja diciptakan untuk membantu segala keperluan istana kerajaan.

Beberapa nama kampong di Kelurahan Bintoro Demak yang sangat menarik untuk dianalisa adalah Kampung Setinggil, Tembiring, Sempalwadak, Pandean, Beguron, Manggoloyudan atau Demunggalan, Kembangan, Tirtoyudan, Penjalan, Tukangan, Gendingan, Betengan, Krapyak, Petengan, Merbotan, dan Kauman. (*)