Turun Status, Keterlambatan Antisipasi Covid jadi Salah Satu Indikator

Pakar ekonomi Universitas Diponegoro, Profesor FX Sugiyanto
Pakar ekonomi Universitas Diponegoro, Profesor FX Sugiyanto. (ISTIMEWA / JOGLO JATENG)

Bank Dunia (World Bank) menurunkan status Indonesia dari negara berpenghasilan menengah ke atas (upper middle income) pada tahun 2019 menjadi negara dengan penghasilan menengah ke bawah (lower middle income) pada tahun 2020. Meskipun kemerosotan ekonomi dianggap wajar di tengah pandemi, namun pakar ekonomi menganggap penurunan status ini adalah imbas dari keterlambatan Indonesia mengantisipasi dampak Covid-19.

Pakar ekonomi Universitas Diponegoro, Profesor FX Sugiyanto menerangkan, penurunan status itu adalah dampak dari penurunan pendapatan per kapita penduduk Indonesia yang menurun terkait adanya pandemi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan dari 5,02 persen dari tahun 2019 menjadi minus 2,07 persen atau  2,1 persen di tahun 2020.

“Itu publikasi terbaru dari bank dunia memang mencatat bahwa Indonesia masuk dari upper medium income turun (pendapatan) di bawah 4000 dolar sekian per orang, menjadi upper low income country, jadi negara dengan penghasilan terendah, tapi yang di atas. Itu terjadi di tahun 2020 ya, berdasarkan pendapatan tahun 2020. Dan mungkin juga terjadi di awal 2021,” ungkapnya.

Baca juga:  Bank Jateng Raih Penghargaan Top 20 Financial Institutions Award 2024

Ia mengungkapkan bahwa hal ini adalah wajar. Bank dunia menyebutkan bahwa pada tahun 2020 hanya beberapa negara yang dilaporkan mengalami pertumbuhan ekonomi di tengah pandemi.

“Kalau dari laporan bank dunia itu hanya ada beberapa negara yang di tahun 2020 tumbuh. Cina, kemudian yang tertinggi kalau di Asia adalah Vietnam, Turki dan Mesir. Jadi hanya ada beberapa negara yang masih tumbuh. Di negara-negara lain seperti ASEAN itu Thailand malah paling besar turunnya. Artinya sesuatu yang wajar,” tuturnya.

Meskipun demikian, lanjutnya, Indonesia perlu belajar dari negara lain untuk mengantisipasi dampak ekonomi dari pandemi. Khususnya terkait dengan keterlambatan Indonesia dalam mengantisipasi Covid-19.

“Setidak-tidaknya (ini) adalah dugaan atau hipotesisnya. Tapi kita belajar saja. Kalau di Vietnam itu ketika pandemi muncul, maka penelusuran dan tesnya jauh lebih cepat. Kita agak lambat kalau menurut ahli epidemiologi. Yg kedua, tampaknya bukan hanya ahli epidemiologi ya, (prediksi) ahli matematika dan lainnya hampir semuanya meleset. Saya cenderung sependapat dengan apa yang terjadi di Vietnam, kita ada keterlambatan melakukan antisipasi ya,” ucapnya.

Baca juga:  Bank Jateng Raih Penghargaan Top 20 Financial Institutions Award 2024

Ia melanjutkan, meskipun dari segi geografis dan demografis menuntut penanganan pandemi yang berbeda, salah satu indikator penurunan ekonomi di Indonesia adalah adanya keterlambatan dan prediksi-prediksi yang terlalu optimis di awal pandemi. Selain itu, lanjutnya, kendala yang bersifat sistem kelembagaan juga menjadi penghambat.

“(Hambatan) yang paling nyata adalah, satu, tentang data. Ketika kita mau mengupgrade dampak pandemi di pertengahan tahun 2020. Dan itu minimal bagian epidemiologi kita tidak siap dengan data yang benar, yang valid, yang akurat. Yang kedua, peraturan kita tumpang tindih dan birokrasi yang tidak rapi. Artinya, di antara di dalam sistem birokrasi yang namanya kolaborasi itu barang langka. Ini yang kita maksud dengan sistemik,” ujarnya.

Kendati demikian, Ia menambahkan bahwa  ancaman perekonomian terbesar saat ini adalah terhambatnya aktivitas produksi karena ancaman kesehatan. Namun, ia optimis jika tahun 2021 pandemi sudah teratasi, Indonesia dapat mengembalikan status negara dengan pendapatan upper middle income.

Baca juga:  Bank Jateng Raih Penghargaan Top 20 Financial Institutions Award 2024

“Karena pada dasarnya infrastruktur kita sudah bagus. Yang lemah adalah karena kita tidak bisa melakukan aktivitas produksi karena ancaman terhadap kesehatan. Ya menurut saya kita mampu tumbuh dengan cepat, kira kira kalau 2021 ini target, 2023-2024 kita sudah bisa di list minimal sama dengan tahun 2019. Kalau kita lihat grafiknya akan seperti itu.” ungkapnya.

Untuk mengantisipasi hal itu, ia menambahkan bahwa pemerintah harus melakukan persiapan di bidang logistik. Mengingat pada tahun 2023-2024 perkembangan teknologi juga akan berpengaruh pada sistem perputaran ekonomi.

“Karena pada dasarnya kapasitas publish kita sudah ada mungkin pada saatnya nanti bisa lebih cepat, karena perubahan teknologi akan terjadi pada saat itu. Dugaan saya 2024 kita akan menjadi lebih gampang. Saya optimis sepanjang kegiatan ini (penanganan covid)  bisa teratasi,” tandasnya.