Pandemi Terus Turunkan Produksi Tembakau

ILUSTRASI: Pekerja menandai kualitas tembakau rajangan di gudang penyimpanan tembakau milik sebuah industri rokok di Karangawen, Demak, Jawa Tengah.Kanaikan Cukai Jadi Momok Industri Tembakau (ANTARA/JOGLO JATENG)

JAKARTA, Joglo Jateng – Dunia usaha di sektor industri tembakau masih dibayangi kenaikan cukai di tengah pandemi Covid-19 yang belum mereda. Oleh sebab itu, pelaku usaha isdustri tembakau meminta pemerintah tidak kembali menaikkan tarif cukai pada tahun 2022, karena hanya akan sangat memberatkan produsen dan petani tembakau.

“Kami berharap tidak ada lagi wacana menaikkan cukai hasil tembakau. Justru, kami menginginkan adanya kepastian kebijakan dari pemerintah yang bisa mengurangi beban pelaku industri hasil tembakau (IHT),” kata Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Sulami Bahar, dałam keterangannya di Jakarta, Minggu (11/7).

Menurut dia, secara agregat di segala segmen sepanjang 2020, produksi IHT mengalami kontraksi produksi sebesar 9,7 persen. Adapun perkembangan hingga Mei 2021 tren penurunan produksi masih terjadi di kisaran 4,3 persen dari tahun 2020.

Pemkab Demak
Baca juga:  Bank Jateng Syariah Raih Penghargaan Best Halal Financial Support pada Indonesia Halal Industry Award 2024

“Jumlah masyarakat yang terpapar Covid-19 makin meningkat, akibatnya produsen mengurangi produksi karena penurunan permintaan konsumen, petani kekurangan serapan permintaan dari sektor hilir. Produsen bisa tetap memproduksi seperti saat ini saja sudah syukur,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan menyatakan, kenaikan cukai dan simplifikasi adalah faktor pendorong besar tekanan industri, tercermin dari produksi yang terus menurun. Simplifikasi tarif cukai akan sangat dirasakan oleh produsen rokok golongan II dan III, atau yang produksinya belum mencapai tiga miliar batang.

Baca juga:  Bank Jateng Raih Penghargaan Top 20 Financial Institutions Award 2024

Menurut Henry, jika kenaikan tarif cukai kembali diberlakukan maka dampaknya adalah tutupnya produsen tembakau, perusahaan rokok golongan II dań III berguguran, yang bisa mengakibatkan rokok ilegal makin meningkat.

“Ini akan terus mempengaruhi serapan bahan baku dari petani, mengganggu tenaga kerja, mengganggu pendapatan dari para pengecer atau penjual rokok, dan pendapatan negara dalam hal cukai dan perpajakan,” tegasnya.

Data survei menyebut, pada tahun 2019 rokok ilegal ada di kisaran 3 persen, dan naik 4,8 persen di tahun 2020. Pola ini sangat mungkin terulang bahkan meningkat, ketika tarif cukai kembali naik 12,5 persen tahun 2021.

Baca juga:  Bank Jateng dan Kemenag Magelang Resmi Kerjasama Kelola Gaji Pegawai

Secara terpisah, Anggota Komisi XI Fraksi Golkar Mukhamad Misbakhun mengatakan cukai hasil tembakau jadi salah satu pilar penerimaan negara yang penting. Tapi, menaikkan tarif cukai yang dilakukan dengan orientasi penerimaan negara semata bisa membuat kontraksi industri tembakau secara keseluruhan.

“Untuk itu, adanya roadmap IHT yang bisa jadi solusi. Roadmap yang komprehensif dibutuhkan sesuai dengan situasi dan melibatkan seluruh stakeholder dalam negeri,” katanya. (ara/git)