SEMARANG, Joglo Jateng – Petapan kebijakan komoditas minyak goreng satu harga masih belum merata di Kota Semarang, hingga Rabu (2/2). Sejumlah pedagang diketahui belum mendapatkan subsidi tersebut.
Berdasarkan pantauan di lapangan, sejumlah pasar modern di Kota Semarang sudah menerapkan satu harga itu. Namun di Pasar Peterongan belum ditemukan harga minyak bersubsidi.
Salah satu pedagang di Pasar Peterongan, Ninik Sumarni (58) mengaku sudah mendapatkan informasi terkait kebijakan satu harga terhadap komoditas minyak goreng. Kendati demikian, stok minyak goreng lamanya masih, sehingga jika diturunkan akan mengalami kerugian. Sebab dirinya belum menerima subsidi.
“Betul, memang tujuan pemerintah bagus yang memperhatikan rakyatnya. Soalnya, sebelumnya harga minyak goreng sangat tinggi sekali, kisaran 38-40 ribu. Bahkan, orang mau beli mikir-mikir,” katanya, Rabu (2/2).
Karena kebijakan itu, Ninik mengatakan dagangannya sepi lantaran pembeli memilih belanja minyak goreng di pasar modern.
“Tapi, kenyataanya di pasar tradisional belum ada yang menyubsidi. Pastinya, pasar jadi sepi hingga pembeli lari ke supermarket. Itu pun dibatasi 2 liter setiap orang, antrenya enggak karuan (ramai). Umpama pasar disubsidi, pasti ramai,” ujarnya.
Tak cuma itu, Ninik juga ikut membeli minyak goreng di pasar modern. Namun jika dirinya beli banyak, ia takut jikalau dimarahi oleh pihak berwajib.
“Waktu itu sepi pelanggan karena minyak di pasar masih mahal. Akhirnya, saya mencari minyak di supermarket sampai malam, itupun dibatasi. Mau beli lagi, ada polisi jadi enggak enak. Ya mau bagaimana lagi jatahnya hanya 2 liter saja,” ucapnya.
Ia mengaku jika ingin menambah stok dagangannya, dirinya menyuruh orang lain untuk membeli di supermarket. Kemudian diberi imbalan ketika sudah mendapatkan minyak tersebut.
“Kalau mau stok lagi, saya jujur menyuruh orang terus tak kasih upah 2 ribu. Sedangkan minyak fortune masih harga lama,” ujarnya.
Melihat kondisi itu, Ninik menyanyangkan pemerintah karena pasar tradisional belum mendapatkan jatah subsidi minyak goreng. “Pasar harusnya didrop minyak subsidi, meski pasar modern terlebih dahulu enggak papa. Tapi, selisih dua hari dari pasar tradisional kan enggak papa. Pasar modern sekali ada minyak itu langsung diserbu, lainnya masih harga lama,” terangnya.
Di sisi lain, Ninik merasa senang jika pasar tradisional sudah ada yang mengedrop minyak subsidi. “Setahu saya, semua pasar di Semarang belum ada subsidi minyak. Kalau dikirim, jadinya saya bisa jual 13.000 atau 14.000,” imbuhnya.
Sementara, pedagang ayam geprek di Universitas Negeri Diponegoro (Undip) Pleburan, Eko (25) mengaku masih kesulitan mencari minyak harga Rp 14.000. Ia pun sempat mencari di pasar tradisional tidak ada.
“Masih susah harga 14 ribu, sudah cari-cari di pasar tidak ada. Adanya harga lama 20-21 ribu, paling murah 19 ribu,” ungkapnya.
Menurutnya, jika membeli di pasar modern masih kurang karena ada pembatasan setiap orang hanya membeli 2 liter minyak goreng. Sedangkan, kebutuhan dagangannya sangat banyak. Akhirnya, Eko memutuskan membeli minyak curah kiloan yang dinilai lebih hemat dan tidak menaikkan harga ayam geprek.
“Jadi pakai minyak curah lebih hemat, belinya kiloan. Paling sehari 2-3 kilo, selama minyak naik tidak menaikkan harga karena takut kehilangan pelanggan meski untungnya sedikit,” ucapnya. (dik/gih)