HARGA tiket untuk naik Candi Borobudur sebesar Rp 750.000 untuk wisatawan lokal menuai pro dan kontra. Sebagian mendukung demi kelestarian, tapi ada juga yang menilai konyol.
Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Kudus Mutrikah, pemerintah pusat memberikan tarif tersebut pasti mempunyai alasan. Yakni untuk pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya itu sendiri.
“Kalau kita baca, itu ditetapkan semata-mata demi melestarikan dan demi keberlangsungan kehidupan kebudayaan di masa yang akan datang. Sehingga, generasi-generasi yang akan datang masih bisa menikmati cagar budaya tersebut,” ucapnya, Minggu (5/6).
Selain itu, menurutnya ada unsur lain sehingga pemerintah atau pihak pengelola menetapkan tarif sebesar Rp 750 ribu. Seperti unsur melindungi cagar budaya, agar tidak terjadi kerusakan dan mampu untuk diselamatkan dari ancaman oknum yang tidak bertanggungjawab.
“Intinya saya mendukung kebijakan pemerintah untuk tarif itu. Toh tarif ini tidak serta merta dipukul rata. Ada kriteria tersendiri, seperti untuk wisatawan asing bertarif US$100, dan bagi pelajar Rp 5 ribu. Baru untuk domestik umum Rp 750 ribu,” tuturnya.
Menurutnya, pemerintah sudah bijak dalam menerapkan tarif tersebut. Pasalnya, tidak dipukul rata dan masih memikirkan pengunjung di dalam dunia pendidikan.
“Jadi, orientasinya ketika ada wisatawan luar daerah yang sedang berada di Candi Borobudur dan mereka belum mengetahui maka perlu diantisipasi. Agar mereka dapat ikut serta mengamankan cagar budaya yang dimiliki Jawa Tengah,” ucapnya.
Senada, Kepala Disbudpar Kota Semarang Wing Winaryo menilai, harga tiket wisatawan domestik sebesar itu demi situs Candi Borobudur agar tetap terjaga dan lestari. Pasalnya, wisatawan yang datang tidak semuanya teredukasi dan tahu persis bahwa ini cagar budaya yang harus dijaga. Dengan usianya yang sudah sekian ratus tahun, maka Candi Borobudur rawan lapuk. Dengan begitu harus ada perhatian khusus dalam pengelolaannya
“Kalau memang wisatawan mempunyai keinginan betul secara dalam, baru diperbolehkan naik. Tentunya dengan konsekuensi dengan tarif yang agak mahal,” ucapnya.
Wing mengatakan, seyogyanya pemerintah pusat memberikan edukasi terlebih dulu, agar masyarakat tahu memperlakukan cagar budaya yang harus jaga dan dilestarikan. Sebab, merawat cagar budaya tidak mudah dan masyarakat harus memahami dan ikut berpartisipasi.
“Karena memelihara situs, artefak, tidak mudah ada perlakuan perlakuan khusus yang kita lakukan dan membutuhkan biaya tinggi,” ujarnya.
Wing mengatakan terkait kenaikan harga tiket, pihaknya memilih positif thinking saja. Sebab hal itu dalam upaya mengendalikan jumlah wisatawan agar situs cagar budaya Candi Borobudur tetap lestari dan terjaga dengan baik. Jika memang kenaikan itu diterapkan, maka pemerintah pusat harus segera mencari strategi, seperti dengan memberikan edukasi tanpa harus melihat langsung.
“Itu sebenarnya bisa dilakukan dengan platform digital, semua sekarang ini kan bisa digital seperti membuat pelestarian Candi Borobudur, detailnya bisa dibuat seperti konten,” ucapnya.
Di sisi lain, Pengamat Sejarah Unika, Tjahjono Raharjo menganggap konyol terkait kenaikan tiket naik Candi Borobudur seharga Rp 750 ribu. Pasalnya, harga tiket tersebut tidak masuk akal mengingat jika ada umat Budha akan naik ke Borobudur untuk melakukan ibadah harus membayar 750 ribu.
Namun demikian, Tjahjono Raharjo sepakat jika ada pembatasan pengunjung karena Candi Borobudur merupakan bangunan cagar budaya tingkat internasional. Karena itu, wisata ini harus diperlakukan dengan hati-hati.
“Kriterianya adalah bayar 750 ribu, menurut saya itu kriteria konyol. Jadi asal punya duit, sementara sekarang misalnya orang budis masa mau naik ke Borobudur untuk melakukan ritual keagamaan apakah harus membayar 750 ribu,”katanya saat dihubungi awak media, Minggu (5/6).
Ia menyampaikan, terkait pembatasan pengunjung sangat perlu karena bangunan bersejarah tingkat internasional terlihat sudah tua. Sehingga, kata dia, harus diperlakukan dengan hati-hati mengingat bagi umat Buddha bangunan tersebut sakral dan perlakuannya tidak sembarangan.
Tjahjono Raharjo menilai kebijakan ini ada masalah dalam komunikasi, namun ia tidak mengetahui kekeliruan sebelah mana apakah pembuat kebijakan atau lainnya. Sehingga, lanjutnya, narasi yang muncul di masyarakat adalah tarif naik Borobudur sebesar 750 ribu.
“Problemnya sebenarnya melestarikan dengan membatasi, perkara caranya bagaimana. Terus terang kalau bagi saya, tidak terlalu pas kalau dengan memberi harga 750 ribu yang menjadi sorotan orang itu,” ungkapnya.
Untuk itu, Tjahjono Raharjo meminta peraturan kenaikan tiket Candi Borobudur yang jelas, tegas dan ditegakkan dengan benar. “Siapa saja yang boleh naik ke atas candi Borobudur itu ada kriterianya dengan jelas,”tegasnya.
Di sisi lain, ia menjelaskan perkara ada ongkos tambahan juga dilakukan di tempat lain. Salah satunya adalah Taj Mahal, namun besaran nominalnya tidak fantastis seperti Candi Borobudur.
“Misalnya di Taj Mahal kalau kita mau masuk ada ongkos tambahan, tapi ongkosnya tidak fantastis seperti itu,” ucapnya.
Ia mengungkapkan jika kriterianya yang boleh naik hanya perkara duit itu tidak masuk akal. Pasalnya, jika ada seorang arkeolog hendak penelitian apa perlu mengeluarkan duit 750 ribu.
“Bagi saya arkeolog, ahli- ahli arsitektur klasik Indonesia mau mengadakan penelitian apakah harus mengeluarkan duit 750 ribu. Sementara orang-orang mungkin karena kelebihan uang kepingin selfie, di situ bayar 750 ribu. Selfie-selfie aja dia bisa aja berlaku seenaknya toh saya sudah bayar kan bisa gitu,” katanya. (sam/cr10/dik/gih)