BANTUL, Joglo Jogja – Kabupaten Bantul dikenal akan kekayaan budaya dan sejarahnya. Salah satu tradisi yang hingga saat ini terjaga yaitu prosesi Nguras enceh di Imogiri. Prosesi tersebut sudah dimulai setelah era reformasi tahun 1998.
Ketua panitia kegiatan, Widodo mengatakan, kegiatan ini dimulai berawal dari kegelisahan masyarakat Imogiri. Terutama karena masa reformasi, yang dirasakan sangat berdampak bagi masyarakat setempat.
“Terutama dampak reformasi ini akan mempengaruhi pola pikir masyarakat. Sehingga saat itu tokoh masyarakat meminta pemuda untuk bagaimana menyikapi ritus-ritus reformasi” ujarnya, belum lama ini.
Menurutnya, ditakutkan Imogiri terkena dampak reformasi. Sebab berbicara Imogiri bukan hanya sekedar kapanewon atau kecamatan saja, salah satunya dengan adanya makam di Imogiri.
“Istilahnya ada makam pasarean di Imogiri ini tidak sederhana. Disini banyak sekali demo-demo, kita prihatin dan duduk bersama untuk mengerem ritus-ritus reformasi, akhirnya sepakat dengan budaya,” ucapnya.
Widodo menambahkan, bahwa ternyata di tempat tersebut terdapat agenda rutin dari dua pengageng Solo dan Yogyakarta. Yakni yang dinamai Nguras Enceh. Menurutnya, kegiatan tersebut merupakan kegiatan murni dari abdi dalem atau dua juru kunci dari Keraton Solo dan Yogyakarta.
“Akhirnya berjalan dan saat itu animo masyarakat menurun, banyak pendapat yang bertentangan salah satunya agama. Saat itu kita mengadakan pertemuan untuk kirab tidak gampang, selalu mendapat pertentangan,” bebernya.
Hingga akhirnya setelah melakukan pembicaraan dengan tokoh agama, Widodo menuturkan bahwa ikon kirab yang diambil haruslah jelas. Sehingga menjadikan siwur sebagai ikon dalam kirab tersebut.
“Siwur, kalau ngisi ora ngawur. Sehingga ziarah ini dimaknai untuk menyatukan energi, ngalap berkah,” paparnya. (ers/bid)