Tantangan Membaca di Era Digital

Oleh: Chasanudin, S.Pd.
Guru SMP Negeri 3 Petarukan, Kabupaten Pemalang

ERA digital seperti saat ini, secara tidak sadar mengubah kita menjadi seorang pembaca. Tidak hanya itu, era digital juga telah mengubah cara membaca, pengertian membaca, dan materi atau bahan bacaan. Kenyataan bahwa kita dipaksa beradaptasi dengan pandemi Covid-19 telah menyebabkan kita semakin diarahkan kepada tantangan membaca yang tidak terduga sebelumnya, yaitu membaca digital.

Ketika koran atau majalah versi online muncul sekarang ini dengan harga lebih murah, atau bahkan bisa didapatkan secara gratis, semakin sedikit orang menjual koran atau majalah cetakan karena akses berita tersedia di berbagai media online (dalam bentuk e-paper, e-magazine, dll). Ini menyebabkan kebanyakan orang tidak lagi membeli atau berlangganan media cetak.

Pemkab Demak

Akses berita dan informasi digital juga dipermudah dengan kecanggihan aplikasi yang tersedia. Semua aplikasi memaksimalkan penggunaannya secara user friendly. Lalu apa tantangan membaca di era digital ini? Bukankah ini justru lebih mudah dan sangat support untuk kita rajin membaca? Ternyata hal tersebut tidak mudah bagi kita.

Kemudahan akses akan berita dan informasi ini juga dibarengi dengan hadirnya teknologi canggih bernama Sosial Media dan Online Chatting. Hal ini menjadi salah satu penyebab rendahnya minat membaca, karena orang lebih sering menghabiskan waktunya untuk mengobrol lewat ponsel dibandingkan dengan menghabiskan waktu untuk membaca. Lalu apa tantangan membaca digital?

Pertama, kemampuan untuk fokus saat membaca buku fisik. Kita lebih fokus pada satu tujuan, yaitu membaca dan mengerti alur cerita yang kita baca. Itu yang membuat kita bisa lebih fokus, dibanding dengan e-book yang kita baca. Sering ada notifikasi masuk atau kita membuka aplikasi yang lain, yang lebih menarik dari pada yang kita baca pada waktu itu, sehingga fokus kita hilang. Menatap layar ponsel berlama-lama juga membuat mata kita lelah, konsentrasi berkurang hingga akhirnya malas untuk membaca.

Kedua, kemampuan menganalisis data. Kemampuan literasi informasi sudah seharusnya menjadi salah satu kemampuan yang wajib dimiliki semua orang saat ini. Kemampuan tersebut mencakup keterampilan untuk mengenali kebutuhan informasi, membuat pertanyaan riset, mencari sumber informasi yang relevan, menilai informasi dengan kritis, mengkomunikasikan, dan membagikan temuan informasi dengan tanggung jawab bukan informasi bohong (hoaks)

Ketiga, kesadaran data (data awareness). Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menemukan kesadaran masyarakat terhadap data pribadi masih kurang. 93 persen masyarakat membagikan data pribadi mereka secara digital, yakni melalui media sosial. Seharusnya memahami apa tujuan membagikan data, saat mengunduh aplikasi, pengguna harus membaca ketentuan terms of condition sebelum menyetujui memasang aplikasi tersebut.

Keempat, rendahnya kemampuan berpikir kritis. Seperti yang telah diketahui bersama, berpikir kritis merupakan sebuah peningkatan kemampuan dimiliki dalam menganalisis serta mengekspresikan suatu ide-ide yang kita punya. Masih rendahnya kemampuan dalam berpikir kritis ini dapat dibuktikan dengan masih banyaknya masyarakat Indonesia yang sering mempercayai informasi hoaks atau palsu yang diterima, tanpa mengecek kebenarannya terlebih dahulu.

Dari berbagai macam faktor, ternyata buku fisik belum sepenuhnya ditinggalkan oleh penggunanya. Buku digital atau buku fisik memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Tidak perlu pusing memilih satu di antara keduanya. Gunakan sesuai kebutuhan, selama minat membaca menjadi lebih besar. Oleh sebab itu, salah satu dari keduanya, tentu tidak jadi masalah. (*)