Oleh: Eri Irayanti, S.Pd.SD.
Guru SDN 12 Purwodadi, Kec. Purwodadi, Kab. Grobogan
SETIAP anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penerapan pidana bagi para pelaku kekerasan terhadap anak secara khusus diatur dalam UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002.
Mengenai pengaturan pidana terhadap tindakan kekerasan terhadap anak, secara khusus telah diatur dalam Pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi : (1). Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) Tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah); (2). Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah); (3). Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) Tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); (4). Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya. UU Perlindungan Anak memberikan perlindungan hukum terhadap hak anak khususnya juga terhadap anak korban tindak pidana kekerasan.
Dalam Pasal 13 ayat (1) UU Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: 1). Diskriminasi; 2). Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; 3). Penelantaran; 4). Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; 5). Ketidakadilan; 6). Perlakuan salah lainnya. Dalam UU Perlindungan Anak juga diatur bagaimana pelaksanaan hukum terhadap pihak yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak.
Beragam bentuk kekerasan pada anak di antaranya: 1) Kekerasan emosional, 2) Penelantaran anak, 3) Kekerasan fisik, dan 4) Kekerasan seksual. Mirisnya, banyak dijumpai kasus kekerasan pada anak yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Jika melihat kembali pada hukum yang mengatur tentang pidana terhadap tindakan kekerasan terhadap anak, seharusnya orang tua bisa berpikir dua kali untuk melakukan kekerasan terhadap anaknya. Namun tidak sedikit orang tua yang justru beralasan bahwa perbuatannya tersebut sebagai bentuk kasih sayang.
Sebagai guru, kita sering menjumpai siswa yang berperilaku lebih daripada teman-temannya. Ada yang lebih aktif, lebih pendiam, lebih emosional, bahkan mungkin lebih cuek atau bersikap masa bodoh. Beberapa dari mereka berani mengungkapkan kepada gurunya tentang apa yang dialaminya di rumah. Guru harus mampu mendengar dan menanggapi setiap curahan hati siswanya. Hal ini akan sangat membantu guru untuk lebih mengenal karakter dan latar belakang keluarga siswa sebagai bekal guru dalam menentukan metode pendekatan kepada siswanya tersebut.
Namun banyak juga siswa yang tidak berani terbuka kepada gurunya. Oleh sebab itu, guru harus jeli dalam mengamati perilaku setiap siswanya, terutama jika ada perilaku yang menyimpang. Terkadang siswa akan bersikap cuek, kehilangan kepercayaan diri, terlihat depresi dan gelisah, sakit kepala atau sakit perut yang tiba-tiba, menarik diri dari aktivitas sosial, teman-teman, atau orang tua, perkembangan emosional terlambat, sering bolos sekolah dan penurunan prestasi, kehilangan semangat untuk sekolah, menghindari situasi tertentu, bahkan kehilangan ketrampilan.
Jika menemukan hal semacam ini di kelasnya, maka guru harus segera bertindak. Minimal guru bersama pihak sekolah mengajak orang tua untuk berdiskusi mencari jalan keluar yang terbaik demi kemajuan siswanya. Bagaimana memilih pendidikan yang baik, pergaulan yang baik, lingkungan yang mendukung sudah sepantasnya orang tua wajib mengarahkan anak. Di sekolah, guru harus bisa menjadi teman bicara, teman diskusi, teman belajar dan teman bermain yang baik bagi siswanya. (*)