BUNUH diri menjadi kasus yang masih banyak dialami di masayarakat. Penyebabnya pun beragam. Mulai dari karena masalah keluarga, masalah keuangan, hingga kesepian menjadi faktor orang melakukan aksi bunuh diri.
Dalam sebuah studi yang diklaim terbesar tentang bunuh diri di Indonesia oleh Emotional Health for All Foundation (EHFA), Kementerian Kesehatan dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dilakukan 100 jam wawancara mendalam terkait penyebab orang melakukan aksi penghabisan nyawanya sendiri.
“Kami menganalisis data dari pemerintah, termasuk survei desa potensi, dan data kepolisian, dimana hasil dan rekomendasinya kami sampaikan pada kesempatan ini,” ungkap Ketua EHFA Dr. Sandersan Onie melalui siaran persnya, Jumat (9/9).
Berdasarkan hasil studi tersebut menunjukkan, angka kejadian bunuh diri di Indonesia yang tidak dilaporkan diperkirakan lebih dari 300 persen. Sehingga angka sesungguhnya bisa minimal empat kali lipat dari yang dilaporkan.
“Hal ini merupakan prosentase tertinggi dari jumlah kejadian yang dilaporkan secara nasional di dunia,” ungkap Sandersan.
Menurut studi, tidak tercatatnya laporan bunuh diri disebabkan beragam alasan. Termasuk perbedaan standar dan sistem pencatatan bunuh diri di rumah sakit, serta banyak keluarga masih menyembunyikan kejadian bunuh diri. Biasanya karena rasa malu dan stigma masyarakat.
Hasil riset juga menunjukkan bahwa provinsi dengan kejadian bunuh diri tertinggi yakni di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, Maluku Utara dan Kepulauan Riau.
Sedangkan provinsi dengan tingkat upaya bunuh diri tertinggi ditemukan di Sulawesi Barat, Gorontalo, Bengkulu, Sulawesi Utara dan Kepulauan Riau.
“Untuk setiap kematian akibat bunuh diri, kemungkinan terdapat 8-24 kali upaya percobaan bunuh diri, dengan penyebab tertinggi diakibatkan oleh tekanan psikologis, penyakit kronis dan masalah keuangan,” ujarnya.
Berdasarkan studi itu pula, faktor komunitas, akses ke perawatan psikologis, serta agama dapat mencegah terjadinya bunuh diri.
Selain itu, kelompok-kelompok independen yang juga dapat berperan dalam upaya pencegahan bunuh diri.
Sayangnya seringkali, upaya tersebut tidak maksimal, tidak terkoordinasi dan tidak didasarkan pada penelitian kontekstual yang baik.
Cara Cegah Bunuh Diri
Sandersan menyampaikan, sebagai upaya pengembangan program “Strategi Pencegahan Bunuh Diri Nasional” yang dimulai pada 2021 dan dilaksanakan secara kolaboratif antara Direktorat Kesehatan Jiwa dan Pengendalian NAPZA Kementerian Kesehatan, WHO Indonesia dan EHFA, tim Peneliti merekomendasikan sejumlah langkah rekomendasi.
Rekomendasi ini yakni perlunya kebijakan nasional melalui kerjasama dengan institusi terkait. Kemudian pengentasan moralisasi bunuh diri dari sisi agama, peningkatan penelitian akademis secara terlatih dan sistemik.
Selain itu, juga perlu adanya pembentukan asosiasi lintas disiplin sebagai pengawasan upaya pencegahan bunuh diri, melakukan intervensi dengan pembatasan sarana bunuh diri, meningkatkan kesadaran dan pengetahuan akademis tentang bunuh diri sebagai upaya pencegahan bunuh diri berdasarkan situasi, kondisi dan kearifan lokal setempat.
Tim Peneliti merumuskan “Strategi Pencegahan Bunuh Diri Nasional” melalui dua langkah utama. Di antaranya, membentuk Asosiasi Indonesia untuk Pencegahan Bunuh Diri (Indonesian Association for Suicide Prevention – INASP) dan mengangkat tema bunuh diri sebagai stigma berbagai agama.
Sandersan menjelaskan, Asosiasi Indonesia untuk Pencegahan Bunuh Diri akan menjadi sarana membangun jaringan para pemangku kepentingan di seluruh Indonesia.
Hal ini dikarenakan dapat menjadi badan perwakilan nasional untuk Pencegahan Bunuh Diri Indonesia di panggung internasional, dan sebagai pusat data tentang bunuh diri yang andal.
Asosiasi melalui laman Inasp.id menunjukkan data termasuk tingkat bunuh diri dan pencobaan bunuh diri setiap provinsi. Termasuk data krusial lainnya yang belum pernah dibuka untuk umum. (ara/mg2)