Oleh: Herniati, S.Pd.
Guru SMPN 1 Sawa Erma, Kabupaten Asmat, Papua Selatan
SEKOLAH dianggap bermutu bila berhasil mengubah sikap, perilaku, dan keterampilan peserta didik dikaitkan dengan tujuan pendidikannya. Mutu pendidikan sebagai sistem selanjutnya tergantung pada mutu komponen yang membentuk sistem, serta proses pembelajaran yang berlangsung hingga membuahkan hasil. Mutu pembelajaran merupakan hal pokok yang harus dibenahi dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.
Produktivitas pembelajaran dapat mengandung arti perubahan proses pembelajaran, penambahan masukan dalam proses pembelajaran, peningkatan intensitas interaksi peserta didik dengan sumber belajar, atau gabungan ketiganya dalam kegiatan belajar-pembelajaran, sehingga menghasilkan mutu yang lebih baik, keikutsertaan dalam pendidikan yang lebih luas, lulusan lebih banyak, lulusan yang lebih dihargai oleh masyarakat, dan berkurangnya angka putus sekolah. Pembelajaran yang bermutu akan bermuara pada kemampuan guru dalam proses pembelajaran.
Secara sederhana, kemampuan yang harus dimiliki oleh guru yaitu kemampuan merencanakan pembelajaran, proses pembelajaran, serta evaluasi pembelajaran. Mutu pembelajaran adalah ukuran yang menunjukkan seberapa tinggi mutu interaksi guru dengan siswa dalam proses pembelajaran dalam rangka pencapaian tujuan tertentu. Proses interaksi ini dimungkinkan karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam kehidupannya.
Surakhmad (1986: 7) memberikan pengertian bahwa interaksi dalam pendidikan disebut dengan interaksi edukatif, yaitu interaksi yang berlangsung dalam ikatan tujuan pendidikan. Kegiatan belajar mengajar tersebut dilaksanakan dalam suasana tertentu dengan dukungan sarana dan prasarana pembelajaran tertentu pula. Oleh karena itu, keberhasilan proses pembelajaran sangat tergantung pada: guru, siswa, sarana pembelajaran, lingkungan kelas, dan budaya kelas. Semua indikator tersebut harus saling mendukung dalam sebuah sistem kegiatan pembelajaran yang bermutu.
Dalam konteks pembelajaran PPKn yang notabene menekankan pada aspek sikap, justru saat ini dihadapkan pada suatu kenyataan pembelajaran yang lebih banyak menyentuh ranah kognitif, yakni pada aspek pengetahuan. Hal ini terjadi karena posisi guru PPKn serba dilematis di satu sisi dituntut untuk melakukan pekerjaan administrasi pembelajaran, di sisi lain harus menyelesaikan materi yang telah digariskan di dalam kurikulum yang hanya diberi waktu 3 jam per minggu. Kondisi inilah yang membuat guru PPKn berasumsi yang penting semua materi dalam kurikulum dapat diselesaikan, masalah hasilnya itu urusan belakang.
Adapun untuk memperjelas langkah tersebut berikut salah satu contoh model pembelajaran yang dilakukan memaparkan beberapa ciri esensial penerapan investigasi kelompok sebagai model pembelajaran, yaitu: a) Para siswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil (maksimal 4 orang) dan memiliki independensi terhadap guru; b) Kegiatan yang dilakukan siswa terfokus pada upaya-upaya untuk menjawab beberapa pertanyaan yang telah dirumuskan; c) Pengalaman belajar siswa yang harus dikuasai meliputi:mengumpulkan dan menganalisis sejumlah data, selanjutnya merumuskan kesimpulan; d) Dalam kegiatan belajar, siswa dapat memanfaatkan berbagai ragam pendekatan yang bervariatif; e) Hasil-hasil dari penelitian para siswa dirundingkan dengan bergiliran di antara seluruh siswa dalam kelompok.
Peran guru dalam model pembelajaran Investigasi Kelompok sebagai berikut. a) Guru berperan sebagai fasilitator yang langsung dan implikasi dalam kegiatan kelompok (membimbing siswa dalam merumuskan rancangan, action, dan mengelola kelompok); b) Memberikan informasi (pengetahuan tentang metode yang digunakan); c) Konselor akademik (membantu siswa saat menghadapi suatu keadaan yang membingungkan kemudian guru akan menguji dan memperhatikan kebiasaan alami mereka yang tercermin dalam reaksi yang berbeda-beda); d) Membantu siswa membingkai proposisi yang reliable; e) Memberikan bantuan kepada siswa tanpa harus menekan siswa. (*)