Oleh: Rr. Sri Lestari Fadjarwati, S.Pd
Guru Mata Pelajaran Sosiologi, SMA Negeri 4 Semarang
KENAKALAN remaja atau juvenile delinquency menjadi bahasan yang sangat menarik untuk peserta didik. Karena merupakan bagian kehidupan mereka. Guru sosiologi memiliki peranan penting dalam mengenalkan berbagai cara mengatasi permasalahan sosial terutama kenakalan remaja.
Restorative justice menurut Kuat Puji Prayitno (2012), yang dikutip oleh I Made Tambir (2019) merupakan alternatif dalam sistem peradilan pidana dengan mengedepankan pendekatan integral antara pelaku dengan korban dan masyarakat sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat. Sementara itu, menurut pakar hukum pidana Mardjono Reksodiputro, ditulis oleh Jurnal Perempuan (2019), restorative justice adalah sebuah pendekatan yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban.
Mardjono mengatakan, restorative justice penting dikaitkan dengan korban kejahatan. Karena pendekatan ini merupakan bentuk kritik terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini yang cenderung mengarah pada tujuan retributif. Yaitu menekankan keadilan pada pembalasan, dan mengabaikan peran korban untuk turut serta menentukan proses perkaranya.
Kapolri juga menerbitkan surat telegram yang berisi tentang pedoman penanganan perkara tindak kejahatan siber yang menggunakan UU ITE. Kapolri menyatakan, tindak pidana yang dapat diselesaikan dengan cara restorative justice yaitu kasus-kasus pencemaran nama baik, fitnah, atau penghinaan. Sementara itu, tindak pidana yang mengandung unsur SARA, kebencian terhadap golongan atau agama dan diskriminasi ras dan etnis. Kemudian penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran tidak dapat diselesaikan dengan restorative justice.
Berbagai pendapat para ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa restorative justice pada prisipnya merupakan suatu pendekatan yang dipakai untuk menyelesaikan masalah di luar pengadilan. Yakni dengan mediasi atau musyawarah dalam mencapai suatu keadilan yang diharapkan oleh para pihak. Antara lain pelaku tindak pidana serta korban tindak pidana untuk mencari solusi terbaik yang disepakati oleh pihak-pihak yang bermasalah.
Dari pemahaman diatas, guru sosiologi dapat mengambil peran dalam mengenalkan konsep penyelesaian masalah di luar pengadilan yang lebih humanis kepada peserta didik. Restorative justice mengedepankan musyawarah yang melibatkan pelaku, korban, keluarga, para tokoh agama/adat/masyarakat. Di samping itu juga aparat penegak hukum, untuk mencari solusi yang terbaik untuk pelaku maupun korbannya.
Prinsip dari restorative justice adalah pemulihan hubungan baik antara pelaku kejahatan dan korban kejahatan. Sehingga hubungan antara pelaku dan korbannya sudah tidak ada dendam lagi. Hal ini terlepas dari pelakunya sudah memberikan restitusi atau ganti kerugian kepada korban kejahatan. Di samping itu, apabila pelakunya masih dibawah umur, maka kesempatan untuk melanjutkan sekolah masih terbuka.
Guru juga harus dapat memahamkan ke peserta didik bahwa semua tindak pidana atau kejahatan umum yang tidak menimbulkan korban manusia dapat diselesaikan melalui restorative justice. Ada pula syarat pelaksanaannya, yaitu tidak menimbulkan keresahan masyarakat. Kemudian tidak berdampak konflik sosial, tidak berpotensi memecah belah bangsa, tidak radikalisme, dan separatisme. Pro dan kontra terkait penerapan restorative justice dalam menyelesaikan permasalahan di masyarakat pastinya ada. Pembahasan tersebut akan menjadi bahan kajian menarik dalam proses pembelajaran dikelas.
Kreativitas guru sosiologi sangat diperlukan dan penting dalam mengaitkan konsep sosiologi yang ada di buku teks pelajaran dan dinamika fenomena sosial di masyarakat yang terus berkembang. Peran penting guru dalam mengelola pembelajaran agar menarik perhatian peserta didik.
Harapan penulis, semoga tulisan ini dapat memberikan sumbangan motivasi dan ide bagi rekan guru yang lain. Yakni untuk lebih kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. (*)