Kasus Kekerasan Seksual di Jateng Meningkat

Advokad LBH Semarang, Ignatius Rhadite. (ISTIMEWA/JOGLO JATENG)

SEMARANG, Joglo Jateng – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang mencatat ada kenaikan kasus kekerasan kepada perempuan di Jawa Tengah (Jateng) pada tahun 2022 ini. Mayoritas kekerasa tersebut berbentuk cyber dengan modus ancaman revenge phone atau menyebarkan video porno.

Advokad LBH Semarang, Ignatius Rhadite mengatakan, sepanjang 2021 kasus kekerasan terhadap perempuan tercatat ada 22 kasus di Jateng. Sedangkan pada 2022, sudah ada sekitar 40 kasus kekerasan terhadap perempuan di Jateng.

“Kalau kita lihat berdasarkan data yang kita olah, ada peningkatan cukup tinggi tahun ini terkait pasal kekerasan seksual. Kisaran 40 an tersebat tak hanya Semarang. Peningkatan ini hampir dua kali lipatnya dari tahun lalu. 40 kasus itu baru yang kita dampingi, belum penganduan lain yang kita temui lewat analisis media koran dan surat kabar lainya,” kata Ignatius saat ditemui di PTUN Semarang, belum lama ini.

Baca juga:  Perkuat Sinergitas melalui Penyuluhan Hukum Serentak

Dari puluhan kasus tersebut, Ignatus mengungkapkan jika kekerasan berbentuk cyber paling dominan. Kemudian, disusul kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT. “Lebih ke cyber paling dominan, seperti kekerasan berbasis online. KDRT juga ada dan jumlahnya sama,” ujarnya.

Ia menjelaskan, kekerasan berbentuk cyber itu kebanyakan dialami oleh mereka yang memiliki relasi pacaran. Kemudian, pernah melakukan hubungan badan yang saat itu tanpa sadar maupun tidak, diabadikan lewat gadget.

“Ketika berhubungan seksual, mungkin consen dilakukanya karena pacaran. Tapi kemudian tanpa izin direkam, kemudian jadi bahan menindas dan hak korban dirampas. Jadi pas putus, mengancam menyebarkan itu (revenge phone). Dengan dalih untuk mengancam menyebar luaskan untuk memeras orang,” ungkapnya.

Baca juga:  8 Fraksi DPRD Jateng Periode 2024-2029 Terbentuk

Ketika disinggung mengenai meningkatnya indikator kekerasan seksual, Ignatus menilai karena telah disahkanya Undang-Undnag Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau UU TPKS. Pasalnya, pasca disahkanya UU tersebut pada 12 April 2022 lalu, banyak korban kekerasan seksual yang akhirnya berani bersuara.

“Kami analisis peningkatan kekerasan seksual karena pengesahan UU TPKS. Itu paska pengesaha memberikan angin segar kepada masyarakat untuk memberikan pengaduan, sekaligus bersuara. Karena memberikan kebijakan hukum. Akhirnya masyarakat jauh lebih berani mengadu dan melawan,” pungkasnya. (luk/gih)