Opini  

Hari Ibu: Deradikalisasi di Ruang Terkecil Manusia

Oleh: Riemas Ginong Pratidina
Alumni Fak. Filsafat UGM

HARI ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember telah menjadi bagian dari kultur kita di Indonesia. Hari tersebut menjadi momentum untuk kerekatan yang paripurna relasi emosional antara anak dengan ibunya. Jadi bukan berarti di luar momentum ini tidak ada relasi tersebut. Tidak lama sebelumnya, publik juga kembali dihebohkan dengan peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di Bandung, Jawa Barat. Tepatnya di Markas Kepolisian Sektor Astana Anyar pada 7 Desember 2022 pagi.

Terorisme masih menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung melegakan. Kepercayaan masih menjadi faktor utama penyebab teror ini, entah kepercayaan agama, politik, atau nilai-nilai lain. Tidak hanya di Indonesia, banyak negara di dunia masih diselimuti teror-teror. Seperti di Myanmar, India, serta konflik-konflik di Timur Tengah. Di Indonesia sendiri, ada 11 serangan bom ke kantor polisi sejak April 2011.

Menurut Yuval Noah Harari (2018: 20-21), terorisme akan terus bermunculan oleh mereka yang tak punya akses pada kekuasaan riil. Teroris, lanjutnya, sebatas lalat yang berusaha menghancurkan sebuah toko Cina. Para teroris ini sebetulnya terlalu lemah untuk menyeret kita kembali ke abad pertengahan dan menegakkan kembali hukum rimba. Pada akhirnya, tergantung pada reaksi kita.

Baca juga:  Nasib Nelayan Kecil di Jawa Tengah

Menurut saya, tugas deradikalisasi tidak hanya menjadi beban negara, khususnya BNPT. Cita-cita kehidupan yang damai bisa terwujud secara sempurna ketika masyarakat saling bahu-membahu, bukan lepas tangan. Selain dapat ikut mengawasi, masyarakat mempunyai fungsi pokok penting. Pencegahan dan pencegahan paling tepat dilakukan di rumah, sebagai ruang terkecil manusia. Rumah secara filosofis, tidak hanya realitas berwujud susunan batu bata dan genteng yang meneduhkan (dalam terminologi Inggris disebut house). Namun bangunan psikologis yang tersusun atas relasi antar anggota keluarga yang ada di dalamnya (dalam terminologi Inggris disebut home).

Baca juga:  S T O P B U L L Y I N G

Progresifitas peran perempuan di Indonesia sendiri telah dimulai sejak awal abad ke-20 melalui perjuangan RA Kartini. Hingga saat ini perempuan telah banyak memegang estafet kepemimpinan, baik dalam area birokrasi maupun sektor-sektor lain seperti ekonomi, akademisi, maupun kebudayaan. Tidak kalah penting, saya ingin menitikberatkan pada ruang privat, yakni tugas mulia ibu menjadi seorang pedagog bagi anaknya.

Mengapa ibu? Karena ibu yang mampu melakukan hubungan yang mendalam (deep relationship) dibandingkan ayahnya. Alam seakan merancang ketubuhan perempuan memiliki kelebihan kepekaan emosional. Tidak heran dalam politik, seorang ibu adalah korban ketidakadilan yang paling terdampak sebab sangat merasakan penderitaan akibat ketidakcukupan gizi bagi anaknya. Ketidakharmonisan atau ketidakberesan dalam rumah menjadi akar berbagai kejahatan di dunia. Kepolisian Daerah DIY misalnya, membeberkan fakta bahwa mayoritas pelaku kejahatan dan kekejian klithih adalah anak yang korban broken home.

Meski bukan negara berbasis agama, Indonesia kental akan nilai-nilai agama dan spiritualitas. Dengan demikian, seorang ibu dapat memberikan literasi agama, serta bagaimana proses memahami terhadap agama lain untuk kebaikan bersama (common good). Tentu dalam memaknai ayat-ayat agama atau kearian lokal (local wisdom), banyak sekali kisah-kisah inspiratif tentang pluralisme.

Baca juga:  Sektor Terdampak PPN 12 Persen dan Strategi Menghadapinya

Nilai-nilai ini yang tidak kalah penting ditransfer kepada anak, bagaimana hidup berdampingan dalam kerangka kewargaan. Jadi tidak hanya model pendidikan dan pengajaran yang sarat dengan paradigma kapitalistik (orientasi kerja) saja atau pendidikan yang kering. Seyogyanya kita harus kembali kepada pendidikan yang penuh nilai. Terlebih, tren pendidikan saat ini bercorak humanis modern. Coraknya ialah kritisisme bagi diri si anak sendiri. Orang yang tidak kritis, rentan terombang-ambing dan terpapar nilai-nilai yang destruktif. Dengan pola seperti ini, anak akan terbiasa berpikir kritis sebelum melakukan sesuatu, dan menyaring berbagai macam amplifikasi narasi dari luar. (*)