Kudus  

Rektor IAIN Kudus Sorot Istitha’ah Berkeadilan dalam Usulan Biaya Haji

Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus, Prof. Abdurrohman Kasdi. (ISTIMEWA/JOGLO JATENG)

KUDUS, Joglo Jateng – Kenaikan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH), dari Rp 39 Juta menjadi Rp 69,1 Juta dinilai relevan dengan implementasi istitha’ah. Hal tersebut, disampaikan Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus, Prof. Abdurrohman Kasdi.

Bagi dia, kenaikan BPIH menekankan pada kemaslahatan jangka panjang. Sebab daftar tunggu akan mengular apabila terdapat pembiayaan dana talangan haji. Tentu, jadi polemik tersendiri oleh masyarakat yang benar-benar mampu.

“Adanya pembiayaan dana talangan haji sangat berpengaruh dalam memperpanjang waiting list keberangkatan haji, sehingga menimbulkan ketidakadilan karena menutup kesempatan bagi masyarakat yang benar-benar mampu berhaji tanpa menggunakan jasa dana talangan,” papar Abdurrahman Kasdi kepada Joglo Jateng, Minggu (22/1/23).

Di sisi lain, tahun 2023, Pemerintah Saudi telah menaikkan biaya layanan Masyair dalam jumlah yang sangat signifikan. Hal itu mengakibatkan kenaikan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) hingga total sebesar Rp 98.893.909.

Komposisinya adalah Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) yang dibebankan kepada jemaah Rp 69.193.733  atau 70 persen, besaran subsidi dari nilai manfaat pengelolaan dana haji sebesar Rp29.700.175  atau 30 persen.

Baca juga:  Cabup Kudus Sungkem Orang Tua, Sam’ani: Minta Do’a Restu sebelum Nyoblos

Lebih lanjut, menurut Alumnus Al-Azhar ini, penggunaan dana optimalisasi nilai manfaat yang sangat besar ini, berimplikasi pada istithaah yang berkeadilan.

“Penyesuaian diperlukan seiring terus membesarnya penggunaan nilai manfaat dana operasional haji. Penyesuaian biaya perjalanan ibadah haji dalam rangka mendistribusikan nilai manfaat pengelolaan dana haji yang proporsional,” ujar dia.

Mudzakarah

Sementara itu, Prof. Abdurrahman Kasdi juga menyampaikan bahwa usulan kenaikan dana haji telah melalui kajian panjang. Sebab, akan menjadi jaminan keberlangsungan jemaah haji berikutnya.

“Kenaikan ini tentu sudah berdasarkan kajian yang matang dalam Mudzakarah Haji bulan lalu demi menyeimbangkan antara besaran beban jemaah dengan keberlangsungan dana nilai manfaat BPIH di masa yang akan datang. Sehingga jamaah yang akan berangkat berikutnya juga tetap terjamin keberlangsungannya,” tegasnya.

Menurutnya, Istitha’ah (bahasa Arab: الاستطاعة) memiliki arti kemampuan manusia untuk melakukan perjalanan ke tanah suci dan melakukan manasik haji.

Kemudian, menurut fatwa ulama fiqih, ibadah haji akan menjadi wajib bagi seseorang ketika ia mampu melakukannya. Istitha’ah dibahas dari empat sisi, yakni keuangan, keamanan, kesehatan fisik dan waktu.

Baca juga:  Sam’ani: Ekonomi dan Pernikahan Dini Faktor Utama Perceraian, Ada Solusinya

Istitha’ah dari segi keuangan berarti kemampuan untuk membayar biaya perjalanan ke tanah suci, serta biaya pengeluaran hidup bagi mereka yang menjadi tanggungannya.

Sedangkan yang dimaksud dengan Istitha’ah dalam hal keamanan adalah harta benda, jiwa dan kehormatannya terhindar dari segala macam ancaman dan bahaya selama perjalanan dan tinggal di Makkah.

Adapun Istitha’ah dari sisi fisik adalah kemampuan fisik dan jasmani untuk melakukan manasik-manasik haji. Istitha’ah dari sisi waktu berarti memiliki waktu yang cukup untuk melakukan perjalanan ke Makkah dan melakukan manasik haji.

Implementasi makna istitha’ah yang sesungguhnya adalah mereka yang mampu membayar BPIH secara langsung, tanpa melalui pinjaman kredit atau dengan dana talangan haji.

Karena selama ini Kementerian Agama menerima pendaftaran calon jamaah haji dengan dua metode: dibayar langsung dari calon jamaah dan dengan dana talangan haji.

Dana yang bersumber dari utang dana talangan haji dan menganggap calon jamaah tersebut sudah istitha’ah, karena dianggap mampu untuk membayar kredit sehingga layak dikategorikan istitha’ah potensial.

Baca juga:  Hanya 281, Kuota PPPK Guru di Kudus tak Sebanding dengan Kebutuhan

Sehingga, terjadi pergeseran makna istitha’ah dari kemampuan secara material dan spiritual menjadi kemampuan membayar kredit dan melunasi utang.

Sepertinya, implementasi ‘haji kredit’ dengan berbagai alasannya perlu dianalisis lebih jauh lagi. Analisisnya, apakah keinginan untuk memudahkan diri menjalankan perintah Allah dengan berhaji, bukan sekadar keinginan agar mudah melakukan kunjungan keluarga ke tanah suci.

Sehingga meskipun belum memiliki uang sejumlah biaya perjalanan ibadah haji, harus dibelain dengan dana talangan haji. Dari pihak bank atau instansi kredit, menurut Abdurrahman pun sulit membedakan antara keinginan untuk memudahkan umat Islam menjalankan perintah Allah dan keinginan mencari keuntungan dari usaha kredit.

Maka hasil kajian Mudzakarah Perhajian Indonesia tentang dana talangan dengan memberikan rekomendasi pada point 7: “Tidak mentolerir penggunaan dana talangan dan segala bentuk pembiayaan haji yang bertentangan dengan pemenuhan kaidah istithaah dan menjadikan daftar antrian haji semakin panjang.”

Menyitir dari hasil kajian mudzakarah, bagi Abdurrahman berimplikasi kewajiban haji dalam Hasiyah Syarqawy, yang berbunyi, ‘Barangsiapa yang belum memenuhi syarat istittaah maka tidak wajib baginya berhaji’. (hms/rds)