Oleh: Sri Lestari, S.Pd.SD
Guru SD Negeri Mangunrejo 2, Kec. Kebonagung, Kab. Demak
KEGIATAN pembelajaran dapat dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan perilaku pada siswa. Menurut Zubaedi dalam Desain Pendidikan Karakter (2012), pendidikan karakter diartikan sebagai usaha sadar yang terencana dan terarah melalui lingkungan belajar untuk tumbuh kembangnya seluruh potensi manusia yang memiliki watak berkepribadian baik, bermoral, berakhlak, serta berefek positif pada alam dan masyarakat.
Menurut filosofi belajar Ki Hajar Dewantara, seorang anak memiliki perkembangan yang berbeda sesuai tingkatannya. Hal ini diperkuat dengan implementasi kurikulum baru yang mengedepankan konsep merdeka belajar. Berdasarkan konsep tersebut, fase belajar pada anak dibedakan menjadi 6 tingkatan. Yaitu Fase A, B, C, D, E, dan F. Mereka akan belajar sesuai perkembangannya, baik fisik, psikis maupun kesiapan belajarnya.
Tingkatan belajar di sekolah dasar terdiri dari 3 fase. Fase A yaitu siswa kelas 1 dan 2, fase B meliputi siswa kelas 3 dan 4. Sedangkan fase C meliputi siswa kelas 5 dan 6 sekolah dasar. Masing-masing fase memiliki cara belajar yang berbeda antara fase A hingga C. Pada fase A, siswa belajar pada hal-hal yang nyata dan kontekstual.
Hal-hal baru yang akan dipelajari tentunya membutuhkan media pembelajaran yang menarik, dapat dilihat, didengar, diraba, dan dirasa. Sangat berbeda dengan gaya belajar siswa fase B maupun C. Hal ini menjadi sebuah tantangan guru yang mengajar di kelas 1 dan 2 sekolah dasar dalam merancang pembelajaran yang sesuai perkembangan siswanya.
Pembelajaran tidak hanya pengetahuan melainkan juga keterampilan dan sikap. Tentu ketiganya harus seimbang. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap siswa SD Negeri Mangunrejo 2, menunjukkan kekhawatiran. Religius misalnya, ketika berdoa dan membaca asmaul husna masih ada siswa yang tidak khusyuk. Sopan santun kepada guru juga menunjukkan penurunan.
Terlebih lagi dampak pembelajaran jarak jauh saat pandemi covid-19. Gadget menjadi guru yang lebih didambakan dari pada sosok manusia yang menjadi guru sesungguhnya. Selain itu, masih ada lagi penurunan karakter mulia pada siswa baik sikap, emosional maupun pembiasaan baik yang semula terlaksana. Hal tersebut menjadi masalah besar dalam dunia pendidikan dasar.
Pembelajaran di sekolah dasar dengan penguatan karakter menjadi urgen manakala ilmu pengetahuan telah berkembang pesat dan teknologi semakin tak terkendali. Guru sebagai fasilitator hanya berperan membantu siswa. Hal tersebut memerlukan revitalisasi pendidikan penguatan karakter dalam desain kurikulum saat ini.
Wujud penguatan karakter yang saat ini terfokus pada profil pelajar Pancasila terdiri dari enam dimensi. Yaitu beriman bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, berkebhinekaan global, gotong royong, mandiri, kreatif, dan bernalar kritis. Pada siswa fase A, penguatan karakter mulia dapat diintegrasikan dalam pembelajaran melalui tayangan video sebagai media pembelajaran.
Melalui gambar animasi yang bergerak dengan durasi tertentu, guru dapat menayangkan dongeng warisan leluhur. Dongeng yang diyakini mengandung petuah luhur diharapkan mampu menguatkan karakter mulia. Pada siswa Fase A yang terkadang susah fokus saat pembelajaran, dongeng menjadi salah satu media yang perlu diaplikasikan. Diselaraskan dengan kekinian era digital, maka dongeng yang diimplementasikan yaitu dongeng animasi atau DOA.
DOA merupakan akronim dari dongeng animasi. Artinya dongeng dalam bentuk video atau film dengan tokoh-tokoh animasi. Dunia anak usia 5 hingga 8 tahun yang senang dengan film kartun animasi menjadi sebuah inspirasi yang dapat diaktualisasikan. Siswa sekolah dasar fase A yang menyukai film animasi dan perlunya meniru tokoh yang diidolakan. Maka dongeng animasi menjadi salah satu alternatif media yang dapat digunakan saat pembelajaran sebagai implementasi penguatan pendidikan karakter siswa. (*)