Oleh: M Sabiq Kamalul Haq
Pengasuh Ponpes Al Firdausiy
Kandidat Doktor Pendidikan Islam UIN Walisongo
MENGUNDANG buka bersama anak yatim dan menyantuni mereka menjadi kebiasaan sebagian masyarakat Indonesia pada Bulan Ramadan. Dalam sebuah acara seremoni, biasanya mereka diarahkan naik ke panggung kemudian menerima santunan sembari diiringi musik sedih dan dilanjutkan foto bersama. Setelah pemberi memberikan donasi ke anak yatim, para hadirin “menepuk tangani” proses santunan itu. Kegiatan tersebut juga diviralkan di media sosial.
Bagi masyarakat pada umumnya, melihat kegiatan santunan dengan model di atas dianggap sudah lazim atau biasa. Tidak menjadi masalah, apalagi masalah dasar. Namun bagi penerima yaitu si yatim yang miskin adalah sebuah dilema. Bahagia karena mendapatkan bantuan, namun sangat sedih karena mereka dipertontonkan banyak orang dengan status “yatim yang miskin”. Bahkan ditepuk tangani oleh semua tamu yang hadir dan fotonya disebarkan ke media sosial.
Bagi penulis, fenomena itu sangat tidak beradab, namun dibungkus dengan suasana kedermawanan dan empati sedih. Penulis meyakini tujuannya pasti baik. Tetapi dalam konteks berbagi dalam level terendah, sangat tidak memuliakan penerima. Dengan kata lain, hal baik harus diiringi dengan akhlaq dan adab yang baik. Dalam salah satu Hadist Nabi betapa pentingnya memuliakan anak yatim dapat dilihat dalam riwayat Ahmad dan Abu Dawud; “Wahai Saib, perhatikanlah akhlak yang biasa kamu lakukan ketika kamu masih dalam kejahiliyahan. Maka laksanakanlah pula dalam keislaman. Jamulah tamu, muliakanlah anak yatim dan berbuat baiklah kamu pada tetanggamu”.
Hadist di atas sangat gamblang betapa pentingnya memuliakan anak yatim. Namun watak manusia yang materialistik, memberikan material fisik seperti uang, sembako dan semisalnya adalah penghormatan yang luar biasa. Padahal konteks memuliakan itu tidak hanya memberikan secara lahir. Namun juga memberikan secara batin atau kenyamanan pada hati si yatim yang miskin. Ayat al Qur’an juga menyinggung dengan gamblang bahwa memberi jangan sampai membuat hati penerima tidak nyaman bahkan menjadi jengkel. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 263. “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi tindakan yang menyakiti”.
Lalu bagaimana cara memberi yang lebih beradab? Menurut penulis, jika ingin memberi dalam sebuah kegiatan instansi organisasi pemerintah atau perusahaan, maka setidaknya harus melakukan ini. Pertama, si yatim yang miskin tidak perlu naik panggung. Cukup pemberi datang ke tempat duduknya dan memberikan bantuan. Kedua, saat memotret harusnya ditampakkan full wajahnya adalah pemberi, bukan penerima. Adapun foto penerima cukup dari belakang atau samping. Karena dalam sebuah instansi membutuhkan dokumentasi kegiatan.
Ketiga, MC atau pembawa acara tidak perlu mengajak tamu undangan bertepuk tangan. Cukup misalnya mengatakan “melalui kegiatan ini, semoga Allah memberikan keberkahan untuk kita semua. Amin”. Jika kegiatan santunan itu dilakukan oleh individu atau organisasi sosial, maka lebih baik memberikan bantuan itu langsung ke rumahnya tanpa mempublikasikanya ke media sosial.
Takhtiman, semua masyarakat harus mengetahui fenomena yang dianggap remeh ini. Pemerintah perlu sosialiasi ke Camat, Lurah, RT, sampai RT. Para tokoh agama harus menyisipkan cara menyantuni si miskin yang benar dan berakhlak. Para akademisi harus lebih giat lagi membuat wacana kesadaran sosial yang tinggi serta beradab di masyarakat. Mengapa? karena doanya orang yang terzalimi serta tersakiti sangat mustajab. Jadi kita harus hati-hati, jangan sampai kualat. Na’udzubillah, wallahu a’lam bisshowab. (*)