Puasa dan Pendidikan Toleransi

Oleh: Dr. KH. Iman Fadhilah, S.HI., M.SI
Pengasuh Pesantren Mahasiswa Al Fadhilah, Tembalang, Semarang

MARILAH kita bersyukur kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmatnya. Alhamdulilah, kita masih di pertemukan dengan Ramadan tahun ini. Melakukan ibadah puasa di Indonesia, tentu suatu hal yang membanggakan, dengan heterogenitas masyarakat Indonesia, dari sisi bahasa, suku, agama, dan budaya. Dengan beragamnya masyarakat Indonesia, tentu potensi toleransinya juga tinggi. Membiasakan diri dengan yang berbeda, satu sama lain. Berbeda adalah hal yang biasa, berbeda adalah fitrah. Berbeda adalah indah.

Meski, di Bulan Ramadan ini, untuk mempraktekkan seperti hal di atas tentu tidaklah mudah, kadang-kadang, ada egoisme, rasa ingin di hormati, bagi yang puasa. Tetapi, kadang kita lupa, ada beberapa kelompok masyarakat juga yang tidak berpuasa karena beberapa alasan. Ada yang karena bukan muslim, ada juga yang karena udzur, berhalangan. Misalnya karena menstruasi, atau sakit, dalam perjalanan dan lain sebagainya, yang secara agama dibolehkan untuk tidak melaksanakan puasa.

Landasan puasa, tentu merujuk kepada dalil-dalil syar’i, al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 183, juga Hadits dari Abdullah bin Umar: “Islam ditegakkan atas lima perkara. Yaitu dua kalimat syahadat, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadan, dan haji ke Baitullah bagi yang mampu. Hadis ini shohih, di riwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim, Tirmidzi dan An Nasa’i.

Hikmah dari puasa ini tentu banyak sekali. Antara lain melatih untuk disiplin, melatih sabar, menahan hawa nafsu. Termasuk di dalamnya adalah melatih untuk saling tenggang rasa, teposliro, toleran kepada sesama, sebagaimana pernah dicontohkan oleh sahabat Ali bin Abi Tholib R.A.

Dikisahkan, dalam kitab Mawaidz Ushfuriyyah, tentang sahabat Ali Bin Abi Tholib yang sangat menghormati orang tua meski berbeda agama. Suatu ketika, sahabat Ali Bin Abi Tholib berangkat ke mesjid untuk melaksanakan salat Shubuh berjamaah. Langkah Ali sangat tergesa-gesa, khawatir tertinggal salat jamaah shubuh bersama Rasulullah SAW.

Di tengah jalan, Ali R.A. bertemu dengan seorang kakek tua, yang berjalan tepat di depan Ali. Kakek tersebut berjalan dengan langkah yang sangat pelan. Karena memuliakan dan menghormati kakek tersebut, meski Ali terburu-buru, tetapi tidak sampai mendahului kakek tersebut. Ali sama sekali tidak mendahului, sampai nyaris terbit fajar.

Sesampainya di depan pintu masuk masjid, ternyata kakek tua tersebut tidak masuk ke masjid. Sampai kemudian, Ali tahu kalau kakek tersebut seorang Nasrani. Lantas, Ali bergegas masuk ke masjid dan melihat Rasulullah SAW masih dalam keadaan rukuk. Saat itu Rasulullah memanjangkan rukuknya sampai sekitar dua kali rukuk biasa. Sehingga Ali bisa mengikuti rukuk dan tidak tertinggal sholat jamaah bersama Rasulullah SAW.

Setelah salat, Ali bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rosulullah, mengapa engkau memanjangkan rukukmu dalam sholat tadi? Sepengetahuanku, engkau belum pernah melakukannya seperti itu,” tanya Ali.

Rasulullah SAW menjawab, ketika rukuk tadi, aku membaca subhana robbiyal adzimi seperti biasanya. Namun, saat aku hendak mengangkat kepalaku, tiba-tiba Malaikat Jibril as, datang dan meletakkan sayapnya di atas punggungku cukup lama. Setelah dia mengangkat sayapnya, akupun baru bisa mengangkat kepalaku”.

Para sahabat pun bertanya, “Mengapa Jibril melakukan itu?”, Rasulullah SAW menjawab, “Aku belum bertanya kepada Jibril soal itu.” Maka Jibril pun datang dan berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya tadi Ali berjalan dengan sangat tergesa-gesa untuk salat berjamaah, tetapi di tengah jalan, Ali bertemu dengan seorang kakek tua beragama Nasrani. Ali sama sekali tidak tahu, yang jelas karena menghormati kakek tersebut dan menjaga hak-hak orang yang lebih tua darinya, Ali tidak mendahuluinya. Maka, Allah memerintahkan kepadaku untuk menahan rukukmu, agar Ali tetap bisa ikut salat Shubuh berjamaah.

Menurut Jibril, “Hal tersebut adalah biasa saja. Yang lebih luar biasa dalam kejadian ini adalah ketika Allah memerintahkan Mikail as, untuk menahan gerak matahari dengan sayapnya beberapa lama supaya tidak terbit dahulu, demi memuliakan Ali, yang tengah memuliakan kakek tua tadi.”

Kemuliaan derajat ini di peroleh oleh Ali RA. Karena penghormatannya terhadap Kakek yang sudah tua renta itu, meski beliau si kakek beragama Nasroni.

Ala kulli hal, betapa ajaran agama sangat jelas. Yakni kita di ajarkan untuk menghormati satu sama lain, tanpa melihat unsur agama, suku, ras, budaya, adat, dan lain-lain. Momentum puasa Ramadan, mengajarkan perlunya pendidikan toleransi bagi kita, dimanapun kita berada. Karena hakikat dari ajaran agama adalah kasih sayang dan akhlakul karimah. Wallahu a’lam bisshowab. (*)