Oleh: Sri Kustianingsih, S. Pd
Guru BK SMAN 1 Mranggen, Kab. Demak
PERKEMBANGAN teknologi seakan membawa angin segar bagi dunia pendidikan. Melalui internet yang jangkauanya lebih luas lagi dan tentunya lebih update, diharapkam anak–anak lebih bisa mengembangkan diri melalui banyak hal yang dihadirkan dalam internet. Bukan hanya dalam ilmu, tapi juga pengembangan kepribadian anak menjadi lebih baik. Terutama dalam pergaulan sosialnya.
Self confidence atau kepercayaaan diri merupakan sikap positif seorang anak yang memampukan dirinya untuk mengembangkanpenilaian positif. Baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungan atau situasi yang sedang dihadapinya. Idealnya, kepercayaan diri yang dimiliki anak haruslah berada pada kategori tinggi. Hal ini dimaksudkan agar anak mampu mengembangkan aspek–aspek yang ada dalam dirinya.
Oleh karena itu, dibutuhkan kepercayaan diri yang tinggi pada anak tersebut. Terutama pada masa transisi atau masa remaja, dibutuhkan pemikiran yang deawasa dan bijak dalam menyikapi segala hal yang ada disekitarnya. Baik itu yang positif maupun yang negatif. Diharapkan anak yang dalam masa transisional dapat memfilter dengan baik mana yang diperlukan dan disesuaikan dengan diri ke arah positif. Sehingga diharapkan anak siap secara fisik dan mental menempatkan diri bergaul dengan teman sebayanya.
Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang mana di dalam kehidupannya harus berkomunikasi. Artinya, manusia memerlukan orang lain dan membutuhkan kelompok atau masyarakat untuk saling berinteraksi. Manusia tidak mungkin hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.
Kebutuhan akan orang lain dan interaksi sosial membentuk kehidupan berkelompok pada manusia. Berbagai kelompok sosial tumbuh seiring dengan kebutuhan manusia untuk saling berinteraksi (Listia, 2018:1). Kepercayaan diri adalah kesadaran yang kuat tentang harga dan kemampuan diri sendiri untuk mencapai keberhasilan yang baik di masa yang akan datang, dan dapat menyadari setiap bakat yang ada dalam dirinya.
Perilaku prososisal merupakan tindakan menolong orang lain dengan perencanaan dan tanpa melihat motif si penolong, mungkin juga memiliki resiko pada si penolong (Murnita, 2016). Menurut Baron & Byrne (dalam Hariyanto, dkk., 2021:3), tingkah laku prososial adalah segala bentuk tindakan yang bermanfaat bagi orang lain. Sementara itu, Hariyanto, dkk. (2021:3) berpendapat perilaku prososial adalah bentuk bantuan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain tanpa memikirkan imbalan.
Sangat penting bagi seorang individu memiliki sikap prososial yang tinggi. Prososial dapat diajarkan sedari dini dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya saling tolong menolong, menghargai orang lain, dan juga peduli terhadap lingkungan. Dalam lingkungan keluarga, sangat penting peranannya dalam membangun sikap prososial. Karena dalam lingkungan ini seorang individu mulai belajar dari kecil hingga dewasa.
Sikap prososial merupakan perilaku yang memiliki kecenderungan untuk mengubah keadaan pola pikir atau psikologis penerima bantuan dari yang kurang baik menjadi lebih baik dalam arti secara materi maupun psikologis. Sikap prososial dapat terpicu banyak hal. Yaitu rasa empati, mempunyai tujuan tertentu, perilaku yang timbal balik, dan pendidikan dalam keluarga yang diajarkan sejak kecil yang berhasil di input anak. Sehingga menjadi kebiasaan yang positif.
Dengan kepercayaan yang dimiliki anak dalam bergaulan menjadikan anak disekolah menjadi gampang bergaul dan banyak disukai orang-orang. Di lingkungan sekolah, anak menjadi proaktif, yaitu membantu orang lain bertujuan menguntungkan diri sendiri. Reaktif, tindakan membantu orang lain yang dilakukan untuk menanggapi kebutuhan individu.
Altruistik, tindakan membantu orang lain tanpa mengharapkan keuntungan pribadi apapun. Anak akan lebih bisa mengembangkan kepribadiannya menjadi manusia yang mempunyai kepercayaan tinggi dan yakin terhadap kemampuan yang dimiliki. Tujuannya untuk mengaktualisasikan diri dalam bergaul dengan teman di sekolah. (*)