Oleh: Sri Tulasmini, S.Pd
SD Negeri Karanganyar 1, Kec. Karanganyar, Kab. Demak
MENGAJAR peserta didik kelas rendah di sekolah dasar kelas 1 membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan kreativitas. Selama 15 tahun mengajar di kelas 1, penulis mendapati beberapa anak yang mengalami kesulitan belajar yang serius. Ada beberapa anak yang sama sekali belum dapat membaca, bahkan beberapa masih belum hapal huruf. Seperti diketahui bahwa membaca adalah jantung pendidikan, “…reading is the heart of education” (Farr (1984) dalam Harjasuna & Damaianti, 2003:4).
Dalam suatu masyarakat yang tinggi tingkat ketergantungan pada kata-kata (bahasa) lisan dan tulisan, pendidikan harus terkait dengan pengembangan keterampilan berbahasa. Termasuk persiapan untuk keberhasilan membaca permulaan (Tarigan, dkk., 2011:137). Anak harus belajar membaca agar ia dapat membaca untuk belajar (Learner dalam Abdurrahman, 2009: 200).
Dalam setiap kegiatan tanya jawab untuk memeriksa pemahaman peserta didik, ketiga anak ini pasif, apabila mereka menjawab, antara pertanyaan dan jawaban tidak berhubungan sama sekali. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, saya melakukan kegiatan remedial setiap pulang sekolah.
Selain itu, saya juga membawa anak untuk berkonsultasi dengan rekan sejawat yang kebetulan sarjana psikologi. Setelah menjalani beberapa kali tes, ditemukan bahwa keempat anak tersebut mengalami disleksia. Anak disleksia merupakan bagian dari anak berkesulitan belajar. Untuk menunjukkan bahwa anak disleksia adalah bagian dari anak berkesulitan belajar, dapat dilihat dari definisi anak berkesulitan belajar. Yaitu anak yang memiliki kesulitan belajar dalam proses psikologis dasar. Sehingga menunjukkan kesulitan dalam belajar berbicara, mendengarkan, menulis, membaca, dan berhitung. Sedangkan mereka ini memiliki potensi kecerdasan yang baik tapi berprestasi rendah, yang bukan disebabkan oleh tunanetra, tunarungu, terbelakang mental, gangguan emosional, gangguan ekonomi, sosial atau budaya (Delphie, B., 2006:27)
Pusat Kurikulum Badan Penelitian Dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional (2007:4) menyebutkan tiga karakteristik kondisi kesulitan belajar yang utama, yaitu pertama, gangguan internal. Yakni anak mengalami gangguan pemusatan perhatian, sehingga kemampuan perseptualnya terhambat. Kedua, kesenjangan antara potensi dan prestasi. Ketiga, tidak adanya gangguan fisik dan/atau mental.
Identifikasi merupakan proses untuk menemu kenali individu agar diperoleh informasi tentang jenis-jenis kesulitan belajar yang dialami. Menurut Ekwall & Shanker 1988 (dalam M. Sodiq, 1996:6), ada beberapa gejala berkaitan dengan kasus kesulitan belajar membaca berat (disleksia). Yaitu pertama, pembalikan huruf dan kata. Misalnya membalikan huruf b dengan d; kata kuda dengan daku, dan lain-lain.
Kedua, pengingatan pada kata mengalami kesulitan atau tidak menentu. Ketiga, membaca ulang oral (secara lisan) tak bertambah baik setelah menyusul. Keempat, membaca tanpa suara (dalam hati) atau membaca oral yang pertama. Kelima, ketidaksanggupan menyimpan informasi dalam memori sampai waktu diperlukan;
Keenam, kesulitan dalam konsentrasi. Ketujuh, koordinasi motorik tangan-mata lemah. Kedelapan, kesulitan pada pengurutan. Kesembilan, ketaksanggupan bekerja secara tepat. Kesepuluh, penghilangan tentang kata-kata dan prasa. Kesebelas, kekacauan berkaitan dengan membaca secara lisan.
Karakteristik peserta didik dengan kondisi kesulitan belajar berbeda dengan peserta didik yang memiliki masalah belajar. Untuk dapat mengenalinya, guru dapat melakukan proses identifikasi sendiri dengan menggunakan instrumen pengamatan. Guru juga dapat bekerja- sama dengan psikolog untuk meyakinankan temuan kesulitan belajar peserta didiknya.
Di kelas 1 tempat saya mengajar, kesulitan belajar yang seing dijumpai adalah disleksia. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, penulis memadukan 4 pendekatan yaitu pendekatan perkembangan, perilaku, humanistik, dan humanistik, serta multisensori. Agar berhasil, penulis bekerjasama dengan guru lain, orang tua dan atau keluarga peserta didik, serta peserta didik lain di kelas penulis. Penulis juga membuat media dan menerapkan metode yang menarik bagi peserta didik. (*)