Oleh: Wahyu Utomo, S.Pd
Guru PPKn SMAN 1 Mijen, Kab. Demak
BERBAGAI upaya dapat dilakukan oleh pendidik dalam proses pembelajaran. Pendidik dapat menggunakan model pembelajaran yang menarik dan memancing minat peserta didik untuk terlibat aktif dalam proses tersebut. Salah satu model yang bisa diterapkan yaitu model pembelajaran kooperatif talking chips (kartu untuk berbicara).
Pertama kali model pembelajaran ini dikenalkan oleh Spencer Kagan pada tahun 1992. Dalam pembelajaran ini, kelas dibagi dalam kelompok-kelompok. Para anggotanya mendapat kesempatan sama untuk berpendapat/berbicara dan mendengarkan pendapat anggota lainnya dan semua harus berpendapat. Media yang dipakai tidak harus dengan kartu tapi bisa media lainnya, seperti yang dinyatakan oleh Masitoh dan Laksmi Dewi dalam bukunya Strategi Pembelajaran (2009:244). Bahwa model talking chips ini merupakan model pembelajaran kancing gemrincing yang dikembangkan oleh Spencer Kagan (1992).
Menurut Sonia dalam A Book of Multiple Intelligence Exercise from Spain, dalam talking chips terdapat unsur sosial. Yaitu kerjasama antar anggota kelompok yang ending-nya adanya keberhasilan dalam penguasan materi pembelajaran. Selaku guru PPKn, penulis dalam pembelajarannya salah satunya memakai metode ini. Kelas dibagi dalam beberapa kelompok dengan pembagian materi yang berbeda-beda antar kelompoknya.
Tiap kelompok mendiskusikan materi yang di dapat. Guru membagi kartu pada tiap kelompok sesuai dengan jumlah kelompok. Dimana fungsi dari kartu ini yaitu dalam diskusi setiap anggota berpendapat, maka dia ambil kartu dan ditaruh di tengah meja kelompoknya. Tiap anggota punya hak berbicara satu kali dan kartu harus dihabiskan. Namun bila kartu telah habis dipakai tapi materi belum selesai didiskusikan, guru memberikan tambahan kartu lagi pada kelompok itu sampai materi selesai dibahas.
Guru mengamati jalannya diskusi tiap kelompok dengan menghampiri tiap kelompoknya dan meminta tiap kelompok untuk melaporkan jumlah kartu yang terpakai oleh tiap anggota kelompok. Semakin banyak kartu yang dipakai oleh tiap anggota kelompok merupakan nilai lebih bagi guru dalam menilai keaktifan peserta didik dalam pembelajaran.
Ketika diskusi kelompok selesai maka tiap kelompok mendapatkan kesempatan untuk mempresentasikan di depan kelas. Dimana guru membuat aturan bahwa ketika kelompok pertama presentasi, maka yang berhak berpendapat atau bertanya hanya kelompok kedua. Setiap anggota kelompok harus berpendapat atau bertanya. Kemudian ketika kelompok kedua presentasi maka kelompok ketiga yang berhak bertanya atau berpendapat. Begitu seterusnya sampai kelompok yang pertama dapat giliran untuk bertanya atau berpendapat.
Dalam diskusi ini, guru juga membagikan kartu pada tiap kelompoknya. Bila jatah kartu habis dipakai, guru akan menambahkan lagi kartunya sampai presentasi dari kelompok yang maju selesai. Dalam presentasi ini, guru menetapkan waktu maksimal bagi kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusinya.
Dari diskusi tiap kelompok dan presentasi hasil diskusi di depan kelas, guru dapat menilai tingkat partisipasi atau keaktifan peserta didik dalam pembelajaran. yakni dengan melihat dari jumlah kartu yang digunakan/dihabiskan oleh masing-masing anggota kelompok. Guru membuat kriteria-kriteria tingkat keaktifan siswa yaitu bila siswa hanya menggunakan satu kartu maka termasuk kriteria cukup aktif, dua kartu kriteria aktif, menggunakan lebih dari dua kartu masuk kriteria sangat aktif.
Setelah diskusi selesai, maka guru membuat kesimpulan secara umum tentang materi yang dibahas serta memberikan umpan balik atas jalannya diskusi demi perbaikan-perbaikan untuk pembelajaran berikutnya. Akhirnya dalam pemakaian model pembelajara talking chips ini penulis dapat menyimpulkan bahwa peserta didik semua terlibat dalam pembelajaran. Meskipun dengan kategori tingkat keaktifan yang berbeda-beda. Hal ini dibuktikan adanya keterlibatan semua peserta didik. Dimulai ketika diskusi dikelompok, masing-masing dan ketika presentasi semua berpendapat/berargumentasi, bertanya, dan menjawab. (*)