Kurikulum Merdeka, Penguatan Profil Pelajar Pancasila melalui Antalogi Stori

Oleh: Murinah, S.Pd.SD
Guru SDN 01 Jebed, Kec. Taman, Kab. Pemalang

PARADIGMA Kurikulum merdeka mengisyaratkan pembelajaran yang beragam dengan konten yang lebih optimal. Sehingga peserta didik dapat mendalami konsep dan menguatkan kompetensi. Hal esensial dalam kurikulum merdeka adalah Profil Pelajar Pancasila. Dalam UU Sisdiknas pasal 3 dinyatakan bahwa pendidikan nasional memiliki fungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak atau kompetensi dan karakter.

Berkaitan dengan pengembangan karakter Pancasila, Uchrowi (2013) berpendapat bahwa karakter berkembang seperti spiral yang diawali dengan keyakinan yang menjadi landasan berkembangnya kesadaran. Selanjutnya kesadaran ini membangun sikap atau pandangan hidup dan tindakan/perbuatan.

Pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk wujud Pelajar Pancasila yang terangkum dalam satu rangkaian profil yang masif. Yaitu pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai–nilai Pancasila. Salah satu alternatif kegiatan pendukung kurikulum yang berpotensi besar menguatkan nilai-nilai luhur Pancasila adalah mengenal dan memahami kearifan lokal melalui Antalogi Stori.

Baca juga:  Pembelajaran Diferensiasi dengan Bu Pop Meningkatkan Pemahaman Siswa Materi Pubertas

Antalogi Stori yang akan dibuat Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila ini berupa kumpulan karya pilihan siswa yang bersumber dari budaya daerah atau  lokal. Ada  beberapa tahapan yang dilakukan pada proyek Antalogi Stori. Pertama, tahap pengenalan yang disebut Histori Stori atau hikayat budaya. Yaitu siswa mengenal budaya berupa adat istiadat tradisional dan cerita rakyat di daerahnya yang diwariskan secara turun temurun.

Siswa akan menemukan budaya daerah atau adat istiadat di sekitar tempat tinggal  dan diarahkan memiliki keberanian menceritakan salah satu kebudayaan yang diketahuinya. Selanjutnya, secara berkelompok siswa berdiskusi untuk memahami keragaman budaya, manfaat budaya, dan pentingnya pelestarian budaya bagi kehidupan bangsa. Penelusuran lebih jauh tentang kebudayaan baik foklor lisan maupun foklor bukan lisan dapat dilakukan siswa dengan kegiatan literasi di perpustakaan sekolah atau menemukan informasi yang lebih lengkap melalui internet.

Baca juga:  Pembelajaran Diferensiasi dengan Bu Pop Meningkatkan Pemahaman Siswa Materi Pubertas

Kedua, tahap kontekstualisasi. Yaitu menggali dan merawi stori. Kegiatan yang dilakukan adalah melanjutkan menggali stori dengan metode wawancara. Siswa melakukan wawancara secara berkelompok kepada narasumber yang dipilih siswa. Seperti orang tua, kepala desa, atau tokoh masyarakat terkait budaya.

Langkah berikutnya siswa mencari artikel–artikel budaya daerah dengan memanfaatkan teknologi informasi untuk menyempurnakan pengetahuan dan wawasannya. Setelah siswa memiliki khazanah budaya yang beragam dan mengidentifikasikan sesuai jenis foklor, kemudian menandai dan menempelnya dengan sticknote. Langkah akhir tahap kontekstualisasi adalah menentukan salah satu jenis budaya daerah atau lokal yang telah di gali dan merawinya menjadi stori.

Ketiga, tahap aksi. Yaitu merangkai stori dalam antalogi. Kegiatan pada tahap ini diawali dengan mengarsipkan data budaya sebagai bahan perencanaan pembuatan kumpulan cerita pilihan. Langkah selanjutnya siswa menulis cerita yang telah dipilih dalam bahasa versi sendiri tanpa mengubah alur dan peristiwa. Hal penting dalam penulisan cerita adalah menyisipkan pesan moral yang dapat diteladani siswa. Cerita yang dibuat dapat disajikan dalam bentuk komik atau cerita bergambar yang berwarna dan menarik. Tahap aksi diakhiri dengan kegiatan pameran dan pertunjukan antalogi stori di sekolah dengan penuh apresiasi.

Baca juga:  Pembelajaran Diferensiasi dengan Bu Pop Meningkatkan Pemahaman Siswa Materi Pubertas

Budaya daerah adalah akar budaya nasional karena mengandung nilai-nilai luhur dan kepribadian bangsa. Dalam budaya daerah, didapati dimensi Profil Pelajar Pancasila berkebhinekaan global, bernalar kritis, kreatif, dan gotong royong. Menurut Suwarno, sekolah sebagai konservasi budaya memiliki fungsi memelihara warisan budaya yang hidup dalam masyarakat dengan jalan menyampaikan warisan kebudayaan kepada generasi muda. Guru menjadi agen budaya di sekolah yang konsisten menanamkan sikap, nilai-nilai dan norma. Melalui tangan guru, akan tercapai visi dan tujuan besar pendidikan nasional. Yaitu terwujudnya Profil Pelajar Pancasila. (*)