Oleh: Fitri Rosalia, S.Pd
Guru SDN 02 Rowosari, Kec. Ulujami Kab. Pemalang
ISTILAH matematika berasal dari bahasa yunani mathematikos, yang berarti secara ilmu pasti, atau matheis berarti ajaran, pengetahuan abstrak dan deduktif. Dimana kesimpulan tidak ditarik berdasarkan pengalaman keinderaan, tetapi atas kesimpulan ditarik dari kaidah-kaidah tertentu melalui deduksi (Depdikbud, 1995:91). Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya pikir manusia.
Untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa depan, diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Dalam setiap kesempatan pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi. Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika (KTSP Kelas II, 2006:9).
Keberhasilan bekerja seseorang ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku yang bersifat permanen. Sehingga siswa yang berhasil dalam belajarnya akan menunjukan pola-pola tingkah laku tertentu yang sesuai dengan tujuan. Sebaliknya, siswa yang mengalami kesulitan belajar akan menunjukan pola-pola tingkah laku yang menyimpang dari tujuan (Suyahman, 2004:135).
Pada pembelajaran matematika di SD, pokok bahasan perkalian pada siswa kelas II menggunakan pendekatan kontekstual. Pembelajarannya menggunakan setting kelas kelompok. Setiap kelompok terdiri dari lima siswa. Salah satu buku pembelajaran yang digunakan di sini adalah buku siswa (matematika kelas II) beserta lembar kerja siswa yang sudah disusun oleh guru. Selain itu, media yang digunakan adalah manik-manik atau dekak-dekak dan sejumlah benda yang sudah dikenal anak. Dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, siswa dapat menemukan konsep sendiri dengan media nyata/tiruan oleh bimbingan guru.
Pelaku aktif pembelajaran adalah guru. Dengan demikian, hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik dibandingkan pada saat pra-belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terkait dengan bahan pelajaran. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikanya bahan pelajaran.
Keputusan hasil belajar merupakan puncak harapan siswa. Secara kejiwaan, siswa terpengaruh atau tercekam tentang hasil belajarnya. Oleh karena itu, sekolah dan guru diminta berlaku arif dan bijak dalam menyampaikan keputusan hasil belajar siswa (Dimyati dan Mudjiono, 1999:250)
Agus Suprijono (2009:78), merumuskan pengertian pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL). Yakni konsep yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkanya dengan situasi dunia nyata dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapanya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Sugiyanto (2008:26) mengemukakan, ciri-ciri kelas yang menggunakan pendekatan kontekstual meliputi pengalaman nyata, kerjasama saling menunjang, gembira belajar, dan bergairah. Kemudian pembelajaran dengan terintegrasi, menggunakan berbagai sumber, siswa aktif dan kritis, menyenangkan dan tidak membosankan, sharing dengan teman, serta guru kreatif.
Menurut Sugiyanto (2008:26), langkah-langkah pembelajaran CTL yaitu sebagai berikut. Pertama, mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. Kedua, melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik. Ketiga, mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya. Keempat, menciptakan masyarakat belajar, kelima menghadirkan model sebagai contoh belajar. Keenam, melakukan refleksi di akhir penemuan, dam ketujuh melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara. (*)