Oleh: Septyandra Trisnasari
anggota PPS Desa Loram Kulon Kec Jati Kab Kudus
WACANA tentang penerapan kembali sistem proporsional tertutup dalam pemilihan umum (Pemilu) 2024 kembali mencuat. Hal ini muncul akibat uji materi Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Dalam sejarah Pemilu di Indonesia hanya terdapat 2 sistem yang diterapkan. Kedua sistem itu adalah proporsional tertutup dan proporsional terbuka. Sistem proporsional tertutup diterapkan dalam Pemilu 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, dan 1999. Sedangkan sistem proporsional terbuka mulai diterapkan pada Pemilu 2004, 2009, 2014, dan 2019
Pada dua sistem Pemilu tersebut terdapat kelebihan dan kelemahannya masing masing. Dalam sistem proporsional tertutup, rakyat sebagai pemilih hanya bisa memilih partai politik. Suara partai politik yang telah mencapai ambang batas kursi akan diberikan kepada para calon yang diusung berdasarkan nomor urut. Dalam sistem proporsional tertutup, partai politik mengajukan daftar calon yang disusun berdasarkan nomor urut. Nomor urut itu nantinya ditentukan oleh partai politik. Sementara, penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut.
Sedangkan dalam sistem proporsional terbuka, pemilih langsung memilih nama calon calon yang nantinya akan duduk di kursi legislatif di tingkat DPR, DPRD maupun DPD. Dalam sistem proporsional terbuka, partai memperoleh kursi yang sebanding dengan suara yang diperoleh. Setelah itu, penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.
Kelebihan sistem proporsional tertutup adalah mampu meminimalisir praktek politik uang, meningkatkan peran parpol dalam kaderisasi sistem perwakilan dan mendorong institusionalisasi parpol. Akan tetapi sistem ini juga mempunyai beberapa kelemahan, pemilih tidak punya peran dalam menentukan kandidat caleg yang dicalonkan serta munculnya potensi jual beli nomor urut dalam internal parpol
Sedangkan kelebihan sistem proporsional terbuka adalah pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung kepada kandidat yang dikehendakinya, mendorong kandidat bersaing dalam memobilisasi dukungan massa untuk kemenangan. Kelemahan sistem ini yaitu membutuhkan modal politik yang cukup besar sehingga peluang terjadinya politik uang sangat tinggi, serta menimbulkan kontestasi antar kader di internal partai dan menghambat kader ideologis partai
Sejatinya, tidak ada sistem yang paling baik maupun unggul. Semua pelaksanaan tergantung targetnya, apakah ingin memperkuat efektivitas pemerintahan atau memperkuat keterwakilan. (*)