Opini  

Belenggu Politik Uang

Gigih Firmansyah

Oleh: Gigih Firmansyah
Pemimpin redaksi Joglo Jateng

MENGHADAPI tahun politik, Indonesia akan dihadapkan oleh berbagai persoalan dan tantangan, salah satunya praktik money politic atau politik uang. Sebuah permasalahan yang selalu mewarnai setiap pelaksaaan pemilihan umum (Pemilu). Perilaku ini seakan sudah membudaya dan menjadi rahasia umum di kehidupan politik kita.

Praktik politik uang kita ketahui banyak sekali modusnya. Ada jual-beli suara atau pembelian suara secara langsung sebelum pencoblosan di tempat pemungutan suara (TPS), hingga serangan fajar. Bahkan, ada yang terlihat legal, yakni petahana memanfaatkan dana APBD/APBN untuk alokasi konstituen.

Riset Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Deep Indonesia menyebutkan bahwa setidaknya 72 persen masyarakat Indonesia menerima politik uang pada Pemilu 2019 (rmol.id, 23/7/2023). Jumlah tersebut tidak main-main. Lebih dari separo masyarakat kita menerima politik uang.

Perilaku tersebut tentunya menciderai praktik demokrasi di Indonesia. Secara aturan, politik uang merupakan sudah jelas sebagai pelanggaran, kecurangan bahkan tindakan korup. Di mana aturan soal politik uang tertulis dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu yang terbagi ke dalam sejumlah pasal yakni Pasal 278, 280, 284, 515, dan 523. Dalam pasal-pasal tersebut, larangan politik uang dilakukan tim kampanye, peserta pemilu serta penyelenggara selama masa kampanye.

Baca juga:  Sektor Terdampak PPN 12 Persen dan Strategi Menghadapinya

Namun faktanya, praktik politik uang masih terjadi di mana-mana, yang umumnya menyasar masyarakat kecil di pedesaan maupun perkotaan. Bahkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik uang terbesar nomor tiga sedunia.

Sebagai negara demokrasi apakah kita masih bisa menjalankan asas pemilu yang atau langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil atau Luber Jurdil? Mungkinkan kita merayakan pesta demokrasi yang bersih dari politik uang?

Pendidikan Politik, Ketegasan Hukum hingga Kemiskinan

Maraknya praktik politik uang di kehidupan politik Indonesia sudah menjadi masalah kronis yang harus segera diatasi. Penegak maupun instrumen hukum belumlah cukup dan signifikan untuk memberantas praktik politik uang di Indonesia. Namun perlunya kita menyelesaikan akar permasalahnya. Setidaknya ada tiga hal yang perlu diupayakan untuk memberantas politik uang.

Pertama, tumbuhkan kesadaran pentingnya politik melalui pendidikan politik. Bagi para pelaku politik seringkali menjadikan politik uang sebagai salah satu stretegi kampanye mereka. Uang dijadiankan alat transaksi politik untuk membeli kepercayaan maupun dukungan masyarakat. Sementara masyarakat menerima pratik politik uang sebagai sebuah kesadaran maupun motif ekonomi.

Komponen masyarakat di sini nyatanya belum sepenuhnya memiliki kesadaran dan pengetahuan berpolitik. Maka pendidikan politik perlu dimasifkan dan ditingkatkan melalui lembaga pendidikan di partai politik, organisasi masyarakat, masyarakat, bahkan intansi pendidikan.

Baca juga:  S T O P B U L L Y I N G

Selain pendidikan secara teoritis juga perlu pendidikan secara praktik, sehingga bisa menerapkan pola maupun menghidupkan kehidupan politik yang lebih sehat, dan mengubah budaya negatif money politik dalam kehidupan politik Indonesia.

Kedua, ketegasan hukum. Berdasarkan Pasal 515 UU Pemilu Tahun 2017, pelaku atau individu yang pada hari atau saat pemungutan suara sengaja melakukan politik uang terancam hukuman penjara selama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta. Dalam UU Pilkada, di Pasal 187 a Ayat 2, pihak pemberi dan penerima mendapat sanksi pidana minimal 3 tahun atau denda paling sedikit Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar.

Sementara berdasarkan data Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu RI) ada 67 kasus yang di putus di pengadilann terkait politik uang pada penyelenggaraan Pemilu pada tahun 2019. Dan banyak kasus pelaku dan penerima juga tidak diproses lanjut.

Di tengah kurangnya pendidikan politik di tengah masyarakat, dibutuhkan aturan yang kuat untuk menjerat pelaku yang melakukan maupun penerima politik uang. Namun jika berdasarkan aturan yang ada, meski dampak politik uang menyebabkan hancurnya demokrasi, politik uang tidak masuk dalam ranah extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. Sehingga sanksinya terlihat ringan, atau tidak ada sanksi yang tegas atas perilaku politik uang.

Baca juga:  Nasib Nelayan Kecil di Jawa Tengah

Ketiga, penuntasan kemiskinan. Tingkat kesenjangan ekonomi yang tinggi menjadi kendala bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Politik uang menjadi subsidi yang mengalir ke untuk kelompok, keluarga maupun orang-orang ekonomi rendah.

Dalam kerangka ini, jika tingkat kemiskinan dan kebodohan masih tinggi, maka budaya politik uang akan sulit untuk dihilangkan. Sebagaimana yang disampikan oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata, penggunaan politik uang akan terus terjadi lataran kondisi 50 persen masyarakat yang miskin atau belum sejahtera.

Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat masih ada sebanyak 25,9 juta orang miskin di Indonesia per akhir Maret 2023. Upaya penuntasan kemiskinan secara tidak langsung juga sebagai solusi dari pemberatasan budaya politik uang.

Jika ketiga hal di atas diupayakan secara serius, bukan tidak mungkin politik uang bisa hilang. Selain peran peran dari pemerintah, peran kita bersama juga dibutuhkan. (*)