Oleh: Sriyati, S.Pd
Guru SD 4 Mejobo, Kec. SD 4 Mejobo, Kab. Kudus
REALISTIC mathematics education (RME) merupakan suatu pendekatan baru dalam bidang pendidikan matematika. Pendekatan ini sudah lama diujicobakan dan diimplementasikan di Belanda. Di Indonesia istilah ini dikenal dengan nama Pembelajaran Realistik Matematik (PMR).
Menurut Soedjadi (2001:2), PMR pada dasarnya adalah pemanfaatan realita dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika. Sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik dari pada masa lalu.
Ide utama pembelajaran matematika realistik adalah siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali konsep dan prinsip matematika di bawah bimbingan guru (Gravemeijer, 1994). Siswa diberi kesempatan untuk menemukan ide atau konsep matematika berdasarkan pengalaman anak dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud dapat berupa lingkungan sekolah, keluarga, atau lingkungan masyarakat yang benar-benar dikenal siswa.
RME adalah pendekatan pembelajaran yang bertolak dari hal-hal yang real bagi siswa, menekankan keterampilan process of doing mathematics. Kemudian berdiskusi dan berkolaborasi, serta berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri (student inventing) sebagai kebalikan dari teacher telling dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok.
Secara umum, teori RME terdiri dari lima karakteristik yaitu pertama, penggunaan real konteks sebagai titik tolak belajar matematika. Kedua, penggunaan model yang menekankan penyelesaian secara informal sebelum menggunakan cara formal atau rumus. Ketiga, mengaitkan sesama topik dalam matematika. Keempat, penggunaan metode interaktif dalam belajar matematika, dan kelima menghargai ragam jawaban dan kontribusi siswa.
Sebagai ilustrasi, berikut ini contoh soal dengan menggunakan kelima karakteristik RME untuk mengajarkan konsep pembagian di sekolah dasar pada usia delapan atau sembilan tahun. Guru mengenalkan masalah yang konteksnya real yaitu pedagang telur.
Ibu membeli telur sebanyak 81 butir untuk membuat kue lebaran. Enam telur akan dibungkus pada satu kantong plastik. Berapa banyak kantong plastik yang dibutuhkan?
Guru menggambarkan petunjuk berupa sketsa kantong plastik sebagai model pada papan tulis. Siswa mulai bekerja dalam suatu grup yang berisi tiga atau empat orang. Guru berjalan keliling kelas bertanya seadanya tentang proses memecahkan masalah. Setelah sekitar 10 menit, guru mengakhiri bagian pelajaran ini. Siswa di minta untuk menunjukkan dan menjelaskan solusinya dalam diskusi yang interaktif.
Bisa jadi, solusi pertama kelompok siswa pertama hanya menyalin sketsa yang ada di papan tulis sebanyak yang ia butuhkan untuk mengantongi. Kelompok siswa kedua, memulai dengan cara yang sama. Tetapi setelah menggambar dua sketsa kantong plastik, ia mengubah ke sketsa yang lebih representatif: segi empat dengan angka 6. Setelah menggambar dua kantong plastik, dia sadar bahwa isi dari lima kantong plastik sama dengan 30 butir telur. Jadi melalui 30 ke 60 dan 72 serta 78. Dan akhirnya ia menambahkan 3 telur pada kantong plastik yang terakhir.
Bisa jadi akan berbeda pda kelompok siswa ke-tiga, mereka mempunyai jawaban yang lebih jauh dalam matematisasi masalah. Meskipun mereka mulai dengan menggambar kantong plastik sebagai model, namun ia segera menggunakan konsep perkalian yang ia pelajari pada pelajaran sebelumnya. Misalnya, ditulis 6X6=36 dan didobelkannya 36 ke 72 ditambahkannya 2 kantong plastik tadi untuk mendapatkan kapasitas 84.
Jika kita lihat ketiga macam solusi (dan tentunya banyak solusi lain) kita catat adanya suatu perbedaan level real matematika pada soal real-world ini. Banyak guru akan mendebat bahwa jawaban pertama tidak ada matematikanya sama sekali. Tetapi visualisasi dan skematisasi (contoh informal matematika) adalah alat yang sangat penting dan berguna dalam matematisasi. (*)