Penerapan Disiplin Positif melalui Segitiga Restitusi

Oleh: Titis Nugroho
SD Negeri 02 Pelutan, Kec. Pemalang, Kab. Pemalang

DISIPLIN positif merupakan unsur utama dalam konsep budaya positif. Kata disiplin identik dengan kepatuhan. Dalam artikel ini, konsep disiplin positif yang dimaksud adalah membimbing murid menumbuhkan disiplin diri karena motivasi internal untuk mewujudkan murid yang merdeka.

Jika tidak memiliki motivasi internal, maka diperlukan pihak lain untuk mendisiplinkan kita atau motivasi eksternal. Konsep ini selaras dengan pernyataan Ki Hajar Dewantara bahwa disiplin diri diperlukan untuk menciptakan murid yang merdeka.

Jika murid melakukan pelanggaran, apakah langkah kita? Siapa yang mengingatkan? Apakah mereka kita beri hukuman atau kita memaafkan saja?. Contoh kasus, ketika melakukan pembelajaran praktik terdapat siswa menggunakan pakaian kerja tidak lengkap sesuai keyakinan kelas. Apakah siswa tersebut diperbolehkan praktik atau tidak? Selama ini kebiasaan kita adalah langsung memaafkan atau membuat mereka tidak nyaman.

Perhatian kita cenderung pada kesalahan yang dilakukan daripada mencari cara bagi mereka untuk memperbaiki diri. Salah satu cara untuk memperbaiki diri agar terwujud disiplin diri dapat dilakukan melaui segitiga restitusi.

Segitiga restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka. Sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004 dalam LMS Guru Penggerak Modul 1.4 Budaya Positif 2021).

Melalui restitusi kita dapat membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, serta memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan. Namun tujuannya adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai.

Sangat penting bagi guru untuk menciptakan kondisi yang membuat murid bersedia menyelesaikan masalah dan berbuat lebih baik lagi. Contohnya dengan berkata, “Semua orang pasti pernah berbuat salah,” bukan mengatakan, “Kamu harus lakukan ini, kalau tidak maka…”.

Terdapat tiga langkah dalam segititiga restitusi. Yaitu menstabilkan identitas, validasi tindakan yang salah, dan menanyakan keyakinan. Langkah pertama pada bagian dasar segitiga adalah menstabilkan identitas. Jika anak berbuat salah, maka ada kebutuhan dasar mereka yang tidak terpenuhi. Bagian dasar segitiga restitusi memiliki tujuan untuk merubah orang yang gagal karena telah berbuat kesalahan menjadi orang yang sukses.

Kita harus mampu meyakinkan mereka dengan mengatakan kalimat seperti “tidak ada manusa yang sempurna, saya juga pernah melakukan kesalahan seperti itu”. Ketika seseorang dalam kondisi emosional maka otak tidak akan mampu berpikir rasional, saat inilah kita menstabilkan identitas anak. Anak kita bantu untuk tenang dan mencari solusi untuk menyelesaikan permasalahan.

Langkah kedua adalah memvalidasi tindakan yang salah. Konsep langkah kedua adalah kita harus memahami kebutuhan dasar yang mendasari tindakan anak berbuat kesalahan. Menurut teori kontrol, semua tindakan manusia, baik atau buruk, pasti memiliki maksud/tujuan tertentu (LMS Guru Penggerak, 2021).

Ketika kita menolak anak yang berbuat salah, dia akan tetap dalam masalah. Yang diperlukan adalah kita memahami alasan melakukan hal tersebut sehingga anak merasa dipahami.

Langkah ketiga yaitu menanyakan keyakinan. Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal. Ketika langkah 1 dan 2 sukses dilakukan, maka anak akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan.

Penting menanyakan ke anak tentang kehidupan kedepan yang dia inginkan. Ketika mereka sudah menemukan gambaran masa depannya, guru dapat membantu mereka untuk tetap fokus pada gambarannya.

Melalui segitiga restitusi kita dapat mewujudkan mereka menjadi murid yang merdeka. Mereka mampu menyelesaikan masalah dengan motivasi internal dan bertanggung jawab terhadap pilihannya. (*)