Sebelum Tahun 2000-an Sayung Aman, tapi Kini Dikepung Air

aktivis lingkungan Greenpeace Indonesia memasang instalasi panel surya untuk pompa air di Dukuh Timbulsloko
USAHA: Warga bersama aktivis lingkungan Greenpeace Indonesia memasang instalasi panel surya untuk pompa air di Dukuh Timbulsloko yang terkepung air laut akibat terdampak penurunan tanah disertai kenaikan air laut di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, belum lama ini. (ANTARA/JOGLO JATENG)

SEMARANG, Joglo Jateng – Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Sultan Agung (Unisulla) Semarang menggelar soft launching buku berjudul “Urip Dioyak-oyak Banyu; Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung.” Buku ini merupakan respon dari akademisi terkait persoalan lingkungan, khususnya banjir rob dan abrasi yang dihadapi oleh masyarakat pesisir di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.

Penulis Buku Urip Dioyak-oyak Segoro sekaligus dosen Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Mila Karmilah mengatakan, berbagai proyek infrastruktur serta munculnya pabrik dan aktivitas industri dinilai menjadi salah satu faktor kawasan pesisir Sayung mengalami abrasi pantai dan rawan terdampak banjir rob. Kondisi ini pun membuat warga semakin kesulitan dalam menjalani kehidupan.

Mila yang juga pakar lingkungan dan tata kota menuturkan, dulu warga Sayung hidup dengan aman dan nyaman. Namun setelah munculnya pabrik-parbik dan menjadi kawasan industri di sekitar tahun 2000-an, rob dan abrasi mulai terjadi.

Baca juga:  Polda Jateng Bentuk Direktorat Reserse Kriminal Siber

“Mereka sebenarnya hidupnya baik. Kemudian banyak penetrasi terkait infrastruktur yang tidak semua itu buat mereka, tapi lebih kepada industri, kemudian pembangunan di pesisir Semarang juga berdampak ke mereka,” ujarnya usai menggelar soft launching buku tersebut di Fakultas Teknik Unissula, Selasa (18/7).

Menurutnya, hal itulah yang membuat mereka semakin cemas dan menderita karena hidup dalam bayang-bayang banjir rob. Sementara pembangunan infratsuktur dan masifnya aktivitas industri juga dinilai bukan kepentingan masyarakat.

Melalui buku Urip Dioyak-oyak Segoro, Mila ingin menceritakan bagaimana pergulatan masyarakat pesisir Sayung yang hidup di tengah bayang-bayang rob. Karya ini juga sebagai edukasi kepada masyarakat.

“Harapannya sebenarnya buku ini hadir untuk konsumsi warga. Mereka punya cerita-cerita kalau ada generasi yang lebih muda tahu bagaimana bersikap. Ternyata mereka dulu itu baik-baik saja, hanya ada hal-hal yang membuat mereka jadi seperti ini semakin terpuruk,” ucap Mila.

Baca juga:  Mbak Ita Minta Jajaran Perhatikan Pohon Rawan Tumbang

Sebagai akedimisi, ia merasa terpanggil dengan persoalan yang dihadapi warga di pesisir Sayung. Bersama para pegiat lingkungan lainnya, Mila menyuarakan kondisi tersebut agar mendapat perhatian dari pemerintah.

“Kami mencoba membantu namun tidak begitu banyak. Yang harus disuarakan oleh kami di perguruan tinggi dan temen-temen jaringan (aktivis lingkungan) mencoba membantu mendampingi, paling tidak disampaikan dan disuarakan,” ucapnya.

Buku yang ditulis Mila Karmilah ini merupakan lanjutan dari buku sebelumnya berjudul “Malih Dadi Segoro” yang dikemas dalam bentuk semi-populer. Hal ini agar gaya bahasanya mudah dicerna dan dapat dipahami oleh masyarakat luas.

“Buku ini bukan buku ilmiah jadi kita mendengarkan cerita masyarakat, maka semi populer. Kalau teoritis pesan kita tidak sampai ke masyarakat. Kadang pengetahuan warga kan tidak tertuliskan,” ucapnya.

Baca juga:  Paslon Pilwalkot Semarang 2024 Berkomitmen Langsungkan Kampanye Damai

Adapun proses pengerjaan buku dimulai dari bulan Oktober tahun 2021 dan selesai akhir tahun 2022. Selama itu Mila bersama aktivis dan pegiat lingkungan melakukan penelitian dengan teknik observasi dan wawancara warga di pesisir Sayung.

Buku Urip Dioyak-Dioyak-oyak Banyu ini menjadi semacam potret atau gambaran kondisi warga yang terdampak rob. Salah satunya yaitu warga di Desa Timbulskolo, Sayung, yang rumahnya mengapung di atas permukaan air laut.

“Misalnya di Timbulsloko, siapa yang tahu bahwa pembangunan rumah itu tidak dengan bata tapi dengan kayu dan gladak. Kalau tidak ada yang menuliskan ya tidak ada yang tahu. Biar mereka juga bisa mengadaptasi dengan lingkungan,” tutupnya. (luk/gih)