SLEMAN, Joglo Jogja – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sleman tengah membahas rancangan peraturan daerah (raperda) perubahan atas Perda Nomor 13 Tahun 2019 tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Perubahan Perda tersebut diharapkan dapat mengatasi problem perekonomian di masyarakat.
Ketua Pansus 1, Respati Agus Sasangka mengatakan, terdapat sejumlah alasan mengapa Raperda tersebut dibahas. Menurutnya, Raperda perubahan itu, dibutuhkan untuk penyesuaian nomenklatur dengan regulasi di atasnya.
“Dari istilah Badan Usaha Milik Desa dengan Badan Usaha Milik Kalurahan. Jadi nomenklaturnya harus disesuaikan. Selain itu, perubahan Raperda juga untuk menyesuaikan dengan Peraturan Kementerian Desa sehingga Perda itu kami anggap penting untuk diubah,” katanya di Smart Room Gedung DPRD Kabupaten Sleman, Selasa (22/8).
Di samping ada penyesuaian dengan aturan di atasnya, Pansus juga memberikan catatan terhadap raperda yang diinisiasi oleh Bupati itu. Terutama terhadap efektivitas dan produktivitas pengelola BUMDes atau BUMKal tersebut.
“Dengan regulasi baru ini, maka efektivitas dan produktivitas BUMKal bisa lebih baik. Kami menekankan pada pengelolaannya. Sering kami temukan BUMKal yang tidak efektif bahkan merugi,” tegasnya.
Politikus dari Fraksi PAN itu menambahkan, DPRD Sleman tidak ingin BUMKal dipaksakan didirikan karena mengikuti tren. Namun, pihaknya juga menekankan pendirian BUMKal dengan tujuan dan tingkat produktivitas yang tinggi. Baik BUMKal di sektor yang bergerak mengejar profit maupun sektor yang menekankan pelayanan publik.
“Pengaturannya akan kami tata. Termasuk, keputusan-keputusan yang strategis, untuk pengembangan BUMKal kami dorong dilaksanakan dalam Musyawarah Kalurahan (Muskal, red). Ini agar kualitas Muskal juga baik,” ungkapnya.
Menurut Ade, posisi musyawarah kalurahan dalam menentukan struktur penasihat maupun pengelola di BUMKal, harus bisa diatur dengan jelas dalam Raperda. Sehingga, pansus juga melihat kebutuhan BUMKal di masing-masing kalurahan karena diyakini tidak sama.
“Ada kalurahan yang membutuhkan BUMKal lebih dari satu unit, ada pula yang merasa hanya membutuhkan satu atau bahkan tidak membutuhkan,” jelasnya.
Poitikus PAN itu kembali menegaskan, dari kondisi 86 kalurahan di Sleman tidak bisa disamaratakan. Sehingga, jika belum siap membentuk BUMKal maka tidak boleh dipaksakan.
“Kalau sebelumnya ada BUMDes Bersama maka kami juga dorong BUMKal Bersama bagi kalurahan yang membutuhkan lebih dari dua BUMKal,” tuturnya.
Menurutnya, sejauh ini, sudah banyak kalurahan di Sleman yang membentuk BUMKal, baik bersama maupun milik masing-masing kalurahan. Namun, belum banyak BUMKal yang efektif dan bagus di Sleman. Sehingga, Perda tersebut memberikan ruang bagi kalurahan untuk dapat mengembangkan usaha BUMKal.
“Kami ingin kalurahan tidak sekadar memiliki BUMKal tetapi profitnya tidak sesuai dengan modal yang disertakan sehingga akan menjadi beban keuangan kalurahan,” harapnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaaan Masyarakat Dan Kalurahan (PMK) Sleman Samsul Bakri menuturkan, BUMKaI merupakan sebuah badan hukum yang modalnya dimiliki oleh kalurahan melalui penyertaan modal secara langsung yang berasal dari kekayaan kalurahan yang dipisahkan. Pengembangan BUMKal merupakan bentuk penguatan terhadap Lembaga-lembaga ekonomi kalurahan serta merupakan alat pendayagunaan ekonomi lokal dengan berbagai ragam jenis potensi yang ada di kalurahan sehingga menjadi tulang punggung perekonomian pemerintahan kalurahan dalam rangka meningkatkan pendapatan kalurahan dan kesejahteraan masyarakat kalurahan.
Samsul menambahkan, adanya BUMKal akan semakin mendorong dan menyemangati pemkab untuk kemajuan daerah. “Karena kemajuan BUMKal dapat menjadi salah satu indikator menilai kemajuan dan kemandirian Kalurahan,” pungkasnya. (bam/bid)