DI era digitalisasi ini profesi dalang wayang potehi di Kota Semarang mengalami penurunan minat. Hal itu yang dirasakan oleh pemilik sanggar wayang potehi “Tek Gie Hien” sekaligus dalang di Pecinan Kota Semarang, Herdian Chandra Irawan. Sudah delapan tahun lamanya, ia berusaha melestarikan wayang potehi.
Wayang potehi merupakan salah satu kesenian yang hingga saat ini masih dilestarikan oleh masyarakat Tionghoa. Cara bermainnya pun sama halnya saat memainkan boneka kayu pada umumnya. Adapun persiapan umum yang harus dilakukan, seperti memakaikan pakaian mini, serta menyiapkan storytelling cerita rakyat Tiongkok.
“Eksistensi wayang potehi di Semarang memang saat ini agak kurang karena satu, peminatnya. Soalnya wayang potehi itu tidak sembarang orang bisa dan tidak semua orang suka. Apalagi generasi zaman sekarang yang lebih akrab dengan gadget. Ya cuma kita tetap mengembangkan dengan merekrut anak-anak muda,” ucapnya saat ditemui Joglo Jateng, Rabu (13/9/23).
Herdian menjelaskan, dirinya menjadi satu-satunya dalang wayang potehi di Kota Semarang. Namun, ia tidak menyerah untuk mengajak serta memberikan edukasi kepada masyarakat sekitar, khususnya anak-anak muda.
“Biasanya kalau latihan ada anak-anak barongsai. Awal-awal hanya megang, lama-lama memahami dan pengen belajar. Dari situ kita bisa rangkul,” katanya.
Diketahui, Herdian merupakan anak keempat dari dalang terkenal asal Semarang bernama Thio Tiong Gie. Namun, pada tahun 2014 ayahnya meninggal dunia, dan pelestarian wayang potehi diteruskan oleh dirinya.
“Waktu itu ayah sudah aktif jadi dalang sejak tahun 1960 an. Namun sejak ayah tidak ada, saya yang melanjutkan dedikasinya sebagai dalang wayang potehi,” jelasnya.
Sempat setelah kejadian itu seluruh anggota keluarganya kebingungan cara untuk merawat wayang potehi. Lalu pada tahun 2015, akhirnya Herdian optimis memberanikan diri untuk belajar tentang wayang potehi.
“Dan tahun 2016 baru benar-benar meneruskan, pertama kali show. Dan memang saya tidak menjadikan wayang potehi sebagai sumber mata pencaharian utama karena saya ingat pesan ayah bahwa wayang potehi tetaplah kebudayaan yang patut dilestarikan dan diakui sebagai kesenian, bukan sebagai mata pencaharian,” terangnya.
Ia menambahkan, sejak saat itu wayang potehi ia jadikan sebagai suatu kesenian. Selain itu, sang ayah juga berpesan bahwa jika ingin mencari uang makan, sekolah yang pandai, sehingga mendapat pekerjaan yang layak serta membawa hasil yang baik.
Sampai saat ini, Herdian sudah melakukan pementasan wayang potehi di sejumlah daerah di Indonesia. Di antaranya, Semarang, Jakarta, Kudus, Magelang. “Di Semawis acara Imlek, acara lintas budaya di Pasar Baru, dan masih banyak,” imbuhnya.
Sebelum melakukan pentas, Herdian wajib melakukan ritual khusus dengan cara menjadi vegetarian, yakni dengan memakan sayur mayur selama 3 hari berturut turut.
“Itu sebagai membersihkan diri dan sudah menjadi aturan sejak dulu. Selain itu, juga harus membersihkan panggung besar box, arena wayang, wayang, hingga membakar kertas. Kan panggung box untuk kru itu sekitar 125 centimeter. Arena wayang dan wayang kita bersihkan dengan kertas sembahyangan, kertas emas,” paparnya. (cr7/gih)