Figur  

Raih Beasiswa Kuliah di Polandia

Ummi Hani
Ummi Hani. (DOK PRIBADI/JOGLO JOGJA)

BERBAGAI macam alasan dan tujuan menjadi motivasi para pelajar Indonesia untuk menuntut ilmu di negeri orang. Namun, untuk masuk dan menimba ilmu di luar negeri bukan suatu hal yang mudah diupayakan.

Bagi Ummi Hani, kata menyerah bukan jalan keluar dalam menggapai cita-cita. Alumni Prodi Pendidikan Biologi FMIPA UNY itu berhasil meneruskan kuliah S2 di salah satu universitas terbaik di Polandia.  Ia masuk di Universitas Jagiellonian jurusan Bioteknologi Molekuler.

Ummi kuliah di Polandia dengan mendaftar beasiswa luar negeri yakni beasiswa Ignacy Lukasiewicz dari pemerintah Polandia. Ia harus kuliah dulu bahasa Polandia selama satu tahun.

“Lalu selama dua tahun kuliah bioteknologi molekuler. Kuliah bahasa Polandia ini wajib diikuti oleh penerima beasiswa Ignacy Lukasiewicz,” katanya, belum lama ini.

Ummi menjelaskan, Bahasa Polandia terkenal sebagai bahasa yang sulit untuk dipelajari. Bahasa itu, dikenal sebagai bahasa paling sesuka hati mengubah bentuk dan banyak pengecualian dalam penggunaan beberapa kata.

Pada tes wawancara untuk masuk S2 di universitas tersebut, ada empat pewawancara. Mulai dari dekan, koordinator jurusan serta dosen pengampu mata kuliah tertentu. Tentu tes wawancara dilakukan menggunakan bahasa Polandia.

“Awal masuk kelas, isinya semua orang lokal Polandia dan hanya ada dua orang asing. Awalnya saya sama sekali tidak paham dosen menjelaskan apa. Yang saya tangkap hanya kata per kata. Dari rentang 1 sampai 100 %, mungkin hanya sekitar 10 % yang bisa saya tangkap,” akunya.

Ummi mengungkapkan, di samping bahasanya yang sulit dimengerti, materinya pun sangat jauh dari apa yang ia pelajari ketika menempuh pendidikan S1. Ia dihadapkan dengan beberapa mata kuliah dengan sistem “konwersatorium”, yakni semacam diskusi dengan beban 6 ECTS (The European Credit Transfer and Accumulation System).

“Diberi tugas setumpuk yang harus selesai h-1 sebelum pertemuan di kelas. Ditambah harus menyelesaikan kuis di web kampus sekitar 50 butir soal yang kesemuanya menggunakan bahasa Polandia. Belum lagi mempersiapkan materi untuk diskusi di setiap pertemuan,” ungkapnya.

Dikatakan, berbagai deretan tugas yang diberikan membawa pengaruh tersendiri baginya. Ia juga mengaku harus mendatangi setiap dosen untuk meminta penjelasan ulang terhadap materi yang disampaikan di kelas. Tentu, tidak semua dosen mau untuk mengulang.

“Beberapa dosen memberi keringanan membolehkan saya menjawab menggunakan bahasa Inggris. Namun, ada pula dosen yang tak mau tahu, tak mau memberi materi dan tak mau memberikan keringanan. Sampai pada suatu ketika saya takut untuk masuk kelas, saya takut dengan kelas sistem diskusi. Dunia seakan berbalik 180 derajat,” ungkapnya.

Ummi menuturkan, saat di Indonesia ia sangat senang kelas dengan sistem diskusi. Namun, di Polandia justru ia malah takut untuk berangkat ke kelas. Namun, hal itu ditepis dengan motivasi dan semangat yang diberikan keluarganya.

Ia juga bercerita, di awal masuk, banyak teman sekelas yang enggan untuk memulai pembicaraan dengan orang asing dan berjilbab. Namun, Ummi berusaha untuk pelan-pelan mendekati satu per satu temannya. Sehingga pada akhirnya mereka mulai mau bertegur sapa hingga makan bersama.

“Mereka semua baik sebenarnya. Kuncinya adalah sabar,” imbuhnya.

Ummi juga menceritakan tentang budaya disana dimana seks bebas dimana-mana, alkohol dijual bebas. Tentu, budaya itu, tak diikuti olehnya. Ia sangat membatasi diri agar tidak terbawa dalam pergaulan bebas.

“Berusaha berkumpul dengan sesama mahasiswa dari Indonesia dapat memperkuat keyakinan kita supaya tak terbawa arus,” pungkasnya. (bam/mg4)