LBH Semarang Adakan Nobar Film Silenced Workers

SUASANA: Diskusi film Silenced Workers di Maring Kopi Semarang, belum lama ini. (LU'LUIL MAKNUN/JOGLO JATENG)

LEMBAGA Bantuan Hukum (LBH) Semarang mengadakan kegiatan nonton bareng dan diskusi di Maring Kopi Semarang, belum lama ini. Menggandeng Maring Institute, para peserta yang berasal dari jaringan dari mahasiswa, buruh, jurnalis, dan elemen masyarakat sipil ini bersama-sama menonton film pendek berjudul “Silenced Workers”.

Salah satu sutradara film tersebut, Dian Septi mengatakan, selama 18 menit para peserta diajak menyaksikan dua kisah yang berbeda dari para buruh yang mengalami penindasan. Cerita pertama menceritakan perjuangan tiga orang buruh yang bernama Cyntia Arnella, Robertus Rony, dan Gendis S. Utoyo. Mereka adalah para pekerja film yang mengalami eksploitasi kerja. Ketiga orang ini bekerja lebih dari 16-20 jam per hari dengan segudang permasalahan lain yang dijumpai.

“Sedangkan pada bagian kedua dalam film ini, menceritan nasib yang dialami oleh para buruh pabrik. Dijelaskan bahwa Yuli (bukan nama sebenarnya), masih berstatus buruh kontrak meski telah bekerja 10 tahun di pabrik garmen di Jakarta. Dia rela dihina akibat tidak mau membayar pungutan liar (pungli) di lingkungan pabrik, demi terus membiayai kehidupan keluarga,” ungkapnya.

Dian mengaku ide penggabungan dua cerita menjadi satu buah film ini diambil karena film ini hendak memperlihatkan bahwa dari dua cerita yang berbeda, ternyata bentuk dari penindasannya adalah sama.  Mulai dari eksploitasi kerja, ketidakadilan upah, tidak dipenuhinya hak-hak normatif, kerentanan menjadi korban kekerasan seksual, dan lain sebagainya.

“Artinya selama ia buruh, di manapun ia bekerja, dan apapun pekerjaannya, tetap sama-sama rentan mendapatkan penindasan,” ucapnya.

Di sisi lain, Dian juga menjelaskan bahwa film tersebut disutradarai oleh dua orang. Yakni Ani Ema Susanti selaku sutradara pada bagian cerita tentang pekerja film, dan dia sendiri yang menjadi sutradara pada bagian cerita pekerja garmen.

Sementara itu, narasumber kedua Jinawi Rana Putri, yang akrab disapa Jeje merupakan seorang jurnalis perempuan yang berkerja sebagai seorang wartawan dalam salah satu stasiun TV. Jeje bercerita mengenai pengalamannya berkerja di dunia perfilman, hingga menjadi wartawan beberapa tahun kebelakang.

“Setelah menonton film ini, saya merasa juga merasakan hal yang sama bahkan ketika menjadi wartawan yang memang harus stand by setiap waktu dan tak terhitung lagi mana yang tergabung di dalam jam kerja atau lembur. Hal ini karena pada kenyataannya saya bisa berhari-hari berada di lapangan,” ungkapnya.

Senada, salah satu buruh perempuan, Lip Novitasari menyatakan bahwa baru saja mendapatkan peristiwa yang sama seperti didalam film Silenced Workers, di lingkungan kerjanya. Dirinya bercerita bahwa temannya, yang merupakan sesama buruh garmen baru saja dimintai uang sebanyak Rp 300 ribu oleh management apabila kontraknya ingin diperpanjang.

“Saya juga merasakan apa yang ada di film itu, bahkan ada teman saya, jika dia mau perpanjang kontrak harus bayar dulu Rp 300 ribu,” ucapnya.

Kegiatan diakhiri dengan ajakan dari narasumber maupun penyelenggara mengenai pentingnya berserikat dan perlunya untuk berkumpul, sekaligus terus mendiskusikan solusi agar permasalahan yang pekerja alami, khususnya bagi pekerja perempuan dapat dientaskan. (luk/gih)