SEMARANG, Joglo Jateng – Sekretaris Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Kemenlu RI Didik Eko Pujianto menyebut jumlah kasus perdagangan orang semakin meningkat setiap tahunnya. Bahkan, ia menyebut peningkatannya capai tujuh kali lipat dalam kurun waktu tiga tahun.
“Dari tahun 2020 ke 2023 itu peningkatannya 700 persen, artinya 7 kali lipat,” ucapnya dalam diskusi publik bertajuk ‘Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Khususnya pada Sektor Judi Online, Online Scam, dan Upaya Perlindungan WNI di Luar Negeri’ di Aula Muria, Kantor BPSDMD Provinsi Jateng, Banyumanik, Kota Semarang, Jum’at (15/9). Diskusi ini merupakan upaya Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam mencegah TPPO di Jateng.
Lebih lanjut, melihat peningkatannya fantastis, Didik berharap angka tersebut turun. Ia menyampaikan ada faktor pendorong dan penarik terkait hal itu.
“Faktor pendorongnya itu situasi kawan-kawan Indonesia yang menginginkan dapat gaji yang banyak dan cepat. Sementara faktor penariknya, yakni berbagai tempat di mancanegara memberikan iming-iming pekerjaan menggiurkan dan informasinya mudah tersebar,” ujarnya.
Dalam diskusi publik tersebut, Didik menyampaikan bekerja di luar negeri tak sama dengan bekerja di dalam negeri sendiri. Ia menyebut strategi penyelesaian masalah antarnegara, utamanya terkait pekerja, memiliki mekanisme yang berbeda.
“Harus diingat bahwa bekerja di negara lain itu tidak sama seperti bekerja di Jepara atau Pacitan yang ada di wilayah kita. Kan kalau wilayah kita ada masalah, itu gampang kita mengatasi, berbeda kalau sudah menyangkut negara lain,” bebernya.
Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Jateng Ema Rachmawati mengatakan, banyak di antara korban TPPO yang awalnya tergiur iklan di medsos. Iming-iming yang ditawarkan adalah gaji tinggi dan administrasi yang tak berbelit.
“Tipologi online scam itu menawarkan gaji tinggi, bisa sampai 1.200 dolar Amerika atau 18 juta rupiah. Selain itu, juga dijanjikan bonus hingga miliara rupiah. Nah dari situ mereka tertarik. Ini juga menyasar warga berpendidikan tinggi,” katanya.
Dari catatannya selama kurun waktu 2022-2023 sebanyak 90 warga Jateng tersandung TPPO. Ema mengamati, tindak kriminal tersebut mulai marak sejak tiga tahun terakhir. Adapun, korban biasanya ditempatkan di negara-negara seperti Filipina, Myanmar, Laos, Kamboja dan Vietnam.
“Apalagi sejak pandemi Covid-19 merajalela. Perekonomian masyarakat banyak yang terpengaruh karena banyak korporasi dan usaha warga yang terdampak. Selain itu, gaya hidup hedonis dan flexing kini menjadi sebab banyaknya warga yang tergiur kerja di luar negeri dengan jalur tak resmi,” sambungnya.
Ia menyebut banyak modus TPPO, mulai dari penjualan organ, bayi dan online scam. Dalam hal modus online scam, WNI yang direkrut diberi tugas untuk menipu orang lain lewat sarana media sosial, telepon dan sebagainya.
“Pencegahannya kita ajak kepala desa untuk mengidentifikasi jika ada warganya kerja ke luar negeri. Juga kita terus sosialisasikan kalau mau kerja ke luar negeri melalui Disnaker atau BP2MI. Jangan sampai tergiur lewat media sosial,” terang Ema.
Kepala Unit 2 Subdit 4 Ditreskrimum Polda Jateng Kompol Supriyadi menyebut hampir seluruh kabupaten/kota di Jateng tak terelakkan dari kasus TPPO. Menurutnya, baru beberapa negara yang memiliki perjanjian bilateral dengan Indonesia. Ia menyebut, terdapat lima negara yang mesti diwaspadai oleh calon pekerja.
“Ada beberapa negara yang mesti diwaspadai, Myanmar, Laos, Filipina, dan Kamboja salah satunya,” tandasnya.
Salah satu korban TPPO asal Bandung, Rudi yang turut hadir sebagai pembicara membagikan pengalamannya. Ia menyebut, alasan utamanya tergiur bekerja di luar negeri didasari bisnisnya yang bangkrut. Hal itu yang kemudian mendorongnya mau bekerje ke Filipina.
“Saya ditawari kerja ke luar negeri oleh teman saya. Awalnya saya tidak curiga karena rekruitmennya bertahap sama seperti perusahaan asing umumnya, terlebih bangunan kantornya mewah,” ujar Rudi.
Namun, kecurigaannya dimulai saat kantor tempat ia bekerja menahan paspornya. Pasalnya, keberadaan paspor baginya bak sebuah nyawa jika sedang berada di luar negeri. Pada diskusi publik itu, Rudi menuturkan ia mendapat perilaku tidak manusiawi di tempat ia bekerja. Utamanya jam kerja yang tidak sesuai kontrak.
“Jam kerja di kontrak 12 jam, tetapi wajib lembur 8 jam. Pernah sampai sakit maag dan tipes, hanya diinfus biasa kemudian lanjut bekerja,” katanya. (luk/gih)