SEMARANG, Joglo Jateng – Menjamurnya tambang ilegal di Indonesia, tak terkecuali di Jawa Tengah tentu bukan hal baru lagi. Kegiatan yang dinilai merusak lingkungan ini akan terus terjadi jika bukan Presiden Republik Indonesia yang turun langsung untuk menuntaskannya.
Hal tersebut disampaikan oleh Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gajah Mada (UGM), Fahmy Radhi dalam Forum Group Discussion (FGD) bertajuk ‘Illegal Minning: Tragedi Banyumas dan Pertambangan Jawa Tengah’ di Hotel Patra, Kota Semarang, Rabu (20/9/23).
Fahmy menilai, pemerintah harus bersikap tegas dalam upaya memberantas ilegal minning. Jangan sampai ada oknum-oknum pemerintah yang turut bermain dalam praktik tambang ilegal, terutama sebagai backing atau aktor pendukung.
“Hampir semua daerah bermain, termasuk oknum-oknum dan perusahaan kecil maupun besar. Memberantas ini harus ada komitmen dari RI 1 (Presiden). Jadi semoga sebelum lengser dari jabatannya ini beliau bisa menuntaskan perihal ini,” ujarnya.
Sementara itu, Kabid Minerba ESDM Jateng Agus Sugiarto mengungkapkan bahwa sudah sempat ada intruksi yang diturunkan oleh Joko Widodo selaku presiden untuk menghentikan aktivitas tambang ilegal ini pada Februari 2023 lalu. Namun hingga kini tak ada perubahan sama sekali.
Agus menyampaikan, jika secara kasat mata pelaku tambang legal dan ilegal memang sulit dibedakan. Hanya saja, bagi pelaku tambang berizin, dipastikan ada palang pemberitahuan kegiatan penambangan di lokasi penambangan.
“Bila tidak ada palang, 99 persen itu ilegal. Meskipun tak menutup kemungkinan adanya pemasangan palang palsu. Selain itu, ini (tambang ilegal) juga permasalahan kita bersama, termasuk masyarakat. Karena mereka (ilegal) tak bisa disebut penambang, tapi pencuri sumber daya. Maka dari itu ini menjadi tanggung jawab kita bersama, termasuk masyarakat,” ungkapnya.
Dari segi penindakan selaku instansi yang membidangi, Agus mengaku berbagai upaya telah dilakukan oleh ESDM Jateng. Langkah baru kali ini, yakni menggandeng Kejaksaan untuk menindak lanjuti adanya pelanggaran penambang legal yang menambah material secara ilegal untuk menghindari pajak pemerintah.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Tambang Batuan Indonesia (ATBI) Jateng, Supriyanto, mengaku permasalahan tambang ilegal tak bisa dilepaskan dari supplay dan demand atau ketersediaan dan permintaan material pertambangan untuk proyek pembangunan, tak terkecuali PSN. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku material itu, tak jarang pihak pelaksana proyek turut menggunakan jasa pelaku tambang ilegal.
“Adanya PSN membuat kebutuhan (bahan tambang) semakin meningkat. Belum lagi pengusaha tambang legal harus bersaing dengan proyek swasta. Maka, memang benar kalau berawal dari (tambang) legal bisa ke ilegal. Ini semua untuk memenuhi kebutuhan. Seumpama kebutuhan sekitar 110 juta kubik, hanya 30 juta kubik saja yang bisa terpenuhi dari tambang legal,” ungkap Supriyanto.
Tak hanya itu, Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di kabupaten/kota yang letak mineral pertambangannya tak sesuai dengan penetapan lokasi dari pusat juga kerap menimbulkan praktik pertambangan ilegal. Alhasil, banyak proses perizinan kerap terkendala hingga membuat pelaku tambang mengambil jalan pintas.
“Ini semakin membuat para pengusaha tambang legal dirugikan. Kita juga dilema, mau nambang, tapi izin di daerahnya enggak bisa selesai karena Perda Tata Ruang-nya berbeda antara daerah dengan pusat. Padahal, permintaan banyak. Apalagi, banyak penambang ilegal yang merusak harga. Mereka juga enggak memperhatikan lingkungan. Tentu ini berdampak ke kami. Bahkan, kami dapat penolakan dari masyarakat karena dianggap merusak lingkungan. Padahal, kami berizin dan wajib reklamasi,” terangnya.
Disisi lain, Panit Subdit IV Ditreskrimsus Polda Jateng, Iptu Didik Triwibowo, mengaku telah menangani sebanyak 16 perkara tindak pidana pertambangan di Jateng per tahun 2023. Namun pada kasus penambangan sekala rakyat, persepsi masyarakat bahwa menambang adalah sarana mencari penghasilan menjadi satu hal yang membuat tambang ilegal masih eksis hingga saat ini.
“Bahkan, sewaktu kami melakukan penindakan, masyarakat mengatakan tanah ini milik Tuhan dan negara tidak ikut campur,” ucapnya. (luk/gih)