Jateng Masuk Kategori Rawan Sedang Keterlibatan Politik Uang

OPTIMISTIS: Peserta berjalan sambil membawa poster bertuliskan tentang sosialisasi pemilu saat mengikuti kirab Pemilu 2024 di Jalan Pemuda, Semarang, belum lama ini. (ANTARA/JOGLO JATENG)

SEMARANG, Joglo Jateng – Provinsi Jawa Tengah masuk kategori rawan sedang dalam keterlibatan politik uang. Hal itu terungkap dalam diskusi yang diadakan Bawaslu Jateng bertajuk “Diseminasi Indeks Kerawanan Pemilu Isu Strategis Politik Uang di Jawa Tengah” di Semarang, Senin (25/9/23).

Hadir dalam diskusi tersebut, Akademis Universitas Diponegoro (Undip) Fitriah, Pegiat Pemilu dan Koordinasi Provinsi Akademi Pemilu dan Demokrasi Anik Sholihatun, dan anggota Bawaslu RI, Lolly Suhenty.

Anik Sholihatun mengatakan, Provinsi Jateng masuk kategori rawan sedang dalam keterlibatan politik uang bersama dengan 29 provinsi lainnya. Ia menyebut selama Pemilu 2019, terjadi sebanyak lima kasus pidana politik uang.

“Adapun Kabupaten Temanggung, Kota Magelang, dan Kota Semarang itu masuk kategori rawan tinggi. Selama Pemilu 2019 berlangsung, Bawaslu Jateng menemukan 5 kasus pidana politik uang. Itu ada di Semarang, Boyolali, Wonogiri, Purworejo, dan Pekalongan,” ujar Anik.

Menurutnya, hanya ada satu cara ampuh dalam menuntaskan politik uang yang telah mengakar di masyarakat. Namun, bagi Anik, seluruh pihak mesti menyamakan cara pandangnya terhadap politik uang yang sifatnya masif dan merusak.

“Caranya adalah memutus rantai politik uang. Satu mata rantai kita putus, kita mengajak semua rekan dan keluarga untuk menolak (uang) saja, kalau semua menolak itu bisa selesai,” tandasnya.

Sementara itu, Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Diponegoro Fitriah menyebut masifnya politik uang disebabkan oleh masyarakat yang mewajarkan hal tersebut. Ia menyinggung istilah pork barrel atau gentong babi yang kerap menjadi strategi petahana dalam memenangkan Pemilu.

Pork barrel atau gentong babi itu sering diterapkan oleh pertahanan. Mereka memanfaatkan uang yang berasal dari anggaran daerah dan dibuat program pembangunan, tapi itu alurnya legal,” ucapnya.

Selain itu, lanjut Fitriah, berbagai politik uang yang kerap muncul saat memasuki masa kampanye antara lain program pelayanan kesehatan gratis hingga sumbangan peralatan kepada lembaga tertentu.

Menurutnya, politik uang tumbuh subur di Indonesia terpicu oleh lemahnya lembaga formal. Terlebih, beberapa kriteria pemilih seperti yang pendidikannya rendah hingga yang aktif terlibat dalam organisasi juga rentan terkena politik uang.

“Politik uang terjadi ketika pemilih tidak percaya janji lima tahun ke depan, tetapi janji yang sekarang diberikan yaitu uang. Belum lagi rumor yang beredar dan dipercaya oleh kandidat itu kalau tidak politik uang, mereka tidak akan dipilih,” bebernya.

Ia menilai, semakin luasnya daerah pemilihan (dapil), maka potensi politik uang akan semakin kecil. Bagi Fitriah, penguatan institusi formal yang dibarengi dengan pendidikan pemilih penting untuk keluar dari lingkaran politik uang tersebut.

“Melakukan pendidikan pemilih berkelanjutan yang mengubah tuntutan pemilih dari politik uang menjadi pemenuhan janji-janji kampanye dalam bentuk politik yang sifatnya program,” tandasnya. (luk/gih)