JEPARA, Joglo Jateng – Sejumlah nelayan di Desa Telukawur, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara keluhkan privatisasi pesisir pantai. Mereka dipaksa mengikuti rangkaian regulasi ketika akan melaut atau berlayar mencari ikan.
Hal itu, terjadi sejak 2002 lalu. Berdirinya hotel, villa, cafe serta warung di sepanjang sepadan Pantai Telukawur, jadi penyebab sejumlah nelayan terusik. Mereka diharuskan menjalani aturan penduduk (penyewa) sepadan pantai.
Seperti yang diungkapkan Sulirman, salah satu nelayan Telukawur. Ketika hendak berlayar mencari ikan, dirinya dipaksa untuk membeli es teh terlebih dahulu oleh pihak cafe. Sebab, perahunya berada di sepadan yang diduduki bisnis tersebut.
Daripada menghabiskan waktu untuk debat berlebih, lantas ia memutuskan berjalan memutari cafe sedikit lebih jauh. Menurutnya, masyarakat desa termasuk nelayan berhak atas akses bumi atau sepadan.
“Masuk pantai kok ke cafe dulu dan diharuskan beli es teh baru dipersilahkan. Seolah pantai sudah menjelma sebagai barang mewah,” papar Sulirman, ketika audiensi di Ruang Rapat Kalpataru Dinas Lingkungan Hidup (DLH), belum lama ini.
Tidak sendiri, hal serupa juga dialami sesama nelayan lain, Hasyim. Praktek penguasaan atas sepadan oleh investor terjadi gap dengan masyarakat atau nelayan. Hasilnya, kepentingan masyarakat untuk akses ke pantai tidak terakomodir.
Penguasaan pantai ini, diduga bermula dari Pemerintah Desa (Pemdes) yang menyewakan sepadan kepada investor. Sehingga, docking (servis perahu), lokasi bersandar perahu, serta kegiatan lain di pantai jadi terhambat.
“Sudah 20 tahun masalah ini belum rampung. Akhirnya, kami meminta kepada Kawali untuk menyelesaikan masalah ini. Semoga peroleh solusi pasti dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara,” terang Hasyim.
Sementara itu, Kepala Desa Telukawur, Rokhman mengatakan, Pemdes tidak pernah memberi izin kepada pemilik usaha di sepadan pantai. Alasannya, tanah tersebut bukan milik desa.
Pemdes sendiri ada rencana di 2024 melakukan penataan warung. Namun, bukan di sepadan pantai, melainkan dekat jalan. Tidak hanya itu, Pemdes juga akan membuat tempat parkir.
“Saya tidak cawe-cawe kalau soal itu. Yang pasti, di 2024, kalau tidak dengan dana desa ya pendapatan asli desa (PAD), dibuatkan warung tidak di sepadan. Warung mau atau tidak, silahkan,” tandas Rokhman.
Adapun, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala DLH sekaligus Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Dinsospermasdes), Edy Marwoto meminta agar permasalahan ini diselesaikan secara musyawarah di desa. “Hasilnya, audiensi kali ini, desa segera musyawarah bersama pihak-pihak terkait. Hasilnya, laporkan ke Bupati. Selesaikan dengan baik,” pungkas Edy ketika memimpin audiensi. (cr2/fat)