SEMARANG, Joglo Jateng – Dalam dua pekan ini, telah terjadi dua kasus kekerasan seksual pada anak dibawah umur. Yaitu di Kecamatan Gayamsari dan Kelurahan Kemijen. Dua korban dinyatakan meninggal dunia (MD) dengan luka di tubuh mereka. Namun, di sisi lain, Kota Semarang telah menjadi penerima Penghargaan Kota Layak Anak 2023.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Semarang, Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko mempertanyakan penganugrahan tersebut. Sebab ternyata kekerasan seksual (KS) terhadap anak di tahun ini masih terjadi. Bahkan hingga korbannya meninggal dunia.
“Penghargaan Kabupaten atau Kota Layak Anak merupakan suatu bentuk apresiasi yang diberikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Atas segala komitmen dan keseriusan para gubernur, bupati, wali kota, dan jajarannya yang telah serius berupaya menghadirkan wilayahnya yang aman bagi anak. Namun, seringkali untuk mengejar penghargaan tersebut mengabaikan hak-hak anak dalam proses hukum,” ungkapnya, Kamis (2/11/23).
Ia menyebut, masih ditemukan proses hukum pada kasus kekerasan seksual terhadap anak yang diselesaikan dengan jalan mediasi. Sehingga, keadilan bagi korban tidak terpenuhi.
“Mirisnya lagi tidak ada tambahan hukum terhadap pelaku dengan dikenakan tambahan 1/3 dari ancaman pidana. Karena memiliki hubungan keluarga dengan korban,” jelasnya.
Menurut catatan tahunan LBH APIK Semarang dari tahun 2016 – 2023, Kota Semarang menjadi salah satu wilayah di Jawa Tengah dengan angka tertinggi kasus KS. Dirinya masih menemukan lambatnya proses penanganan kasus KS.
“Karena dianggap kurangnya alat bukti yang cukup meskipun sudah ada dua alat bukti (keterangan korban dan visum et repertum, Red.). Hal tersebut menunjukan kurangnya perspektif terhadap korban dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak,” ungkapnya.
Ia menambahkan, hingga saat ini Kota Semarang belum mempunyai sarana satu pintu yang komprehensif dalam proses penanganan kasus KS terhadap anak. Di antaranya bantuan hukum, pemulihan psikologis korban, layanan medis, ruang belajar untuk korban melanjutkan pendidikan. Kemudian pemberdayaan ekonomi, dan rehabilitasi sosial gratis, khususnya bagi warga miskin yang menjadi korban kekerasan seksual.
Dirinya berharap kepada Pemrintah Kota (Pemkot) Semarang, untuk membentuk sarana satu pintu yang komprehensif tersebut dengan melibatkan komunitas atau lembaga bantuan hukum yang fokus terhadap perempuan dan anak. Pemerintah juga diharapkan bisa melakukan pakta komitmen dengan Aparat Penegak Hukum (APH) penanganan kasus bersama menggunakan prinsip mengedepankan hak-hak korban kekerasan seksual tanpa adanya diskriminasi.
“Terakhir melakukan sosialisasi pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual,” harapnya.
Sebelumnya, saat diwawancarai wartawan Joglo Jateng, Wali Kota Semarang, Hevearita G Rahayu mengaku prihatin dengan peristiwa-peristiwa pelecehan dan kekerasan seksual yang menimpa anak. Menurutnya, penanganan kasus KS tidak hanya peran satu pemerintah saja, namun juga dari pihak lain seperti orang tua, sekolah, dan aparat kepolisian.
“Kasus-kasus seperti itu sebenarnya penanganannya tidak hanya peran pemerintah saja. Kami saat ini kerja sama dengan kepolisian terkait Kentongan Digital,” tuturnya.
Selain itu, kata dia, pemkot juga memiliki program khusus untuk menerima aduan dan memberikan pendampingan terhadap para korban. Yakni dengan memanfaatkan layanan Rumah Duta Revolusi Mental (RDRM).
Ia menjelaskan, RDRM juga berfokus menangani kesehatan mental. Hal itu disebabkan, dari beberapa kasus yang mencuat, pelaku beraksi setelah kecanduan film porno. Menurutnya, dalam studi dijelaskan kondisi ini dapat berdampak buruk termasuk pada kesehatan mental.
“Kalau saya komunikasi dengan kepolisian, mereka (pelaku, Red.) kebanyakan terpengaruh dari film-film porno. Di sini saya sebenarnya juga berharap Dinas Kominfo dapat membersihkan konten-konten tersebut,” tutupnya. (cr7/mg4)