KUDUS, Joglo Jateng – Kabupaten Kudus menjadi salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah yang dikenal dengan sebutan Kota Kretek. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di kabupaten lain, Kudus termasuk kabupaten yang memiliki jumlah penduduk rendah yaitu sebanyak 856.472 jiwa.
Dengan luas wilayah sekira 44 ribu hektare mengkategorikan Kudus sebagai kabupaten yang kecil di Jawa Tengah. Akan tetapi, aktivitas perekonomian justru menempatkan Kudus sebagai peringkat ketiga penyumbang ekonomi. Setelah Semarang dan Cilacap.
Badan Pusat Statistik pada 2022 Kabupaten Kudus berhasil memperoleh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita sebesar Rp 133.880.000. Angka tersebut menjadikan Kudus urutan ketiga sebagai daerah terkaya di Jawa Tengah.
Dalam Forum Group Discussion Peningkatan Kualitas Data Penyusunan PDRB Tahunan dan Triwulanan BPS Kabupaten Kudus, Bappeda Kudus, Kristiyanto, menjelaskan, dari jumlah penduduk Kudus itu. Jika semuanya melakukan aktivitas perekoomian menghasilkan, Rp 114 triliun secara nilai berlaku. Sedangkan jika berdasarkan ADHB dan ADHK, maka mencapai Rp 71 triliun.
“Dari data PDRB itu, sektor industri perdagangan memang paling mendominasi hingga 76 persen. Hingga dikatakan sebagai tulang punggung Kabupaten Kudus. Akan tetapi kita juga tidak serta merta menngabaikan sektor lain seperti pariwisata. Termasuk juga kondisi pertanian yang tidak boleh dilepaskan karena ini harus menjaga ketahanan pangan kita,” jelas Alumni Internasional University of Jepang itu.
Dikatakannya, tantangan tingkat laju pertumbuhan di Kudus dibanding dengan nasional memang cukup lambat. Akan tetapi, dengan pendapatan perkapita yang tinggi ini justru menandakan bahwa Kudus masuk dalam kategori ciri-ciri Negara maju.
“Pengeluaran sebagian besar adalah hasil produksi, tetapi malah 50 persennya dieksplore ke pihak luar. Akhirnya tidak bisa mencukupi kebutuhan masyarakat sendiri,” kata Kris.
Dalam forum yang sama, sebagai panelis, Rektor UMK, Prof Ir Darsono, mengungkapkan, peran penting data dalam pembangunan daerah dalam mentriger kinerja perekonomian di segala bidang.
“Data adalah titik awal penting perlu keniscayaan kita untuk care. Dan betapa rumit dan panjangnya menyusun itu di berbagai pihak. Sehingga saat data itu meleset harapan tak kunjung datang,” ungkapnya.
Ia juga mendorong agar jenis pekerjaan Ibu Rumah Tangga (IRT) yang tidak terhitung dalam PDRB juga harus diperhatikan. Darsono yang turut memecahkan teori pekerjaan ibu rumah tangga itu mengkalkulasi pendapatan istri sebagai IRT lebih tinggi dari suami.
“Hal ini jika kita kalkulasikan dalam konteks accounting. Sebab, pekerjaan seorang istri apalagi ibu. Itu tidak ada hentinya. Bahkan bisa hampir 24 jam. Maka, diorama ini sebenarnya sudah menjadi rasan-rasan dibalik jurnal,” tandasnya. (cr8/fat)