Kampung Sayur Bausasran, Wisata Pertanian Kota yang Mendunia

MEMBUAHKAN HASIL: Ketua Kelompok Tani Gemah Ripah Winayarti mendampingi tengkulak dalam proses panen lele budi daya dalam ember di kebun kelompok tani Bausasran, belum lama ini. (ADIT BAMBANG SETYAWAN/JOGLO JOGJA)

WISATA berbasis kampung di Kota Yogyakarta tidak hanya berhenti pada sektor seni dan budaya. Namun, pertanian perkotaan kerap menjadi wisata yang dikenal di dunia. Misalnya, Kampung Sayur Bausasran, tempat itu menjadi langganan program pertukaran mahasiswa luar negeri.

Belum lama ini, Kampung Sayur Bausasran menerima kembali kunjungan mahasiswa luar negeri dari Filipina, Jepang dan Jerman. Dalam hal itu, bekerja sama dengan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta

Ketua Kelompok Tani Gemah Ripah Winayarti mengatakan, kunjungan tersebut bertujuan untuk mengenal pertanian perkotaan berbasis kampung juga olahan hasil pertaniannya. “Tiap ada kunjungan ke Kampung Sayur Bausasran akan kami bagikan pengalaman menanam di lahan pertanian perkotaan, pemeliharaan, juga panen atau pasca panen untuk pengolahannya, khususnya untuk bayam brasil yang jadi produk unggulan dan sudah diolah menjadi belasan produk. Mulai dari mie, jus, keripik dan aneka olahan lainnya,” terangnya kepada Joglo Jogja, belum lama ini.

Menurut Winayarti, berkembangnya Kampung Sayur Bausasran menjadi wisata pertanian perkotaan menjadi kebangkitan petani Kota Yogyakarta. Hal itu lantaran kehadiran kampung sayur tidak hanya untuk memperkuat ketahanan pangan saja, tapi juga meningkatkan perekonomian masyarakat.

“Sejak tahun 2008 kami memulai pertanian perkotaan yang tadinya hanya di RW 9, sekarang sudah menjadi kampung sayur. Dengan kekompakan warga masyarakat, juga dukungan dari pemerintah, kampus juga pihak lainnya, dengan harapan urban farming tourism dapat bertahan dan berkembang, juga makin banyak wilayah lain yang ikut menerapkan pertanian perkotaan,” ungkapnya.

Bahkan, Kampung Sayur Bausasran pada awal tahun lalu, menerima penghargaan sebagai Desa Wisata Binaan Kemenparekraf. Hal itu menjadi satu bukti transformasi Kampung Bausasran, yang dulunya kondisi kampung panas dan gersang menjadi hijau dan produktif hasilkan sayuran segar hingga potensi wisata.

“Tentu keberadaan kampung sayur ini berdampak pada peningkatan perekonomian warga, lewat hasil panen dan produk olahannya. Sekarang berkembang menjadi destinasi wisata. Dan ini akan menjadi penyemangat warga masyarakat dengan rasa kebersamaan untuk menjaga dan mengembangkan kampungnya,” tuturnya.

Lebih lanjut Win mengungkapkan, awalnya kampung sayur dengan konsep pertanian perkotaan awalnya digagas untuk meningkatkan pola pangan harapan dan ketahanan pangan warga Kota Yogyakarta. Namun sekarang pengembangannya lebih luas lagi menjadi urban farming tourism.

“Kampung sayur memang tidak berorientasi pada produksi. Namun, untuk meningkatkan gizi keluarga, sejalan dengan program strategis penurunan angka stunting. Lewat sayur yang ditanam atau budidaya lele dalam ember akan mendorong bahan pangan bergizi dapat tersedia setiap saat. Sekarang terus dikembangkan jadi wisata yang bisa meningkatkan ekonomi warga,” katanya.

Saat ini secara umum warga Bausasran menanam sayur berbagai jenis seperti bayam, kangkung, sawi, cabai, terong, kembang kol, kobis, sledri, daun mint, jahe & golden mama. Sedangkan buah-buahan yang mereka tanam adalah jambu air, nanas, pepaya, pisang, jeruk bali, anggur, klengkeng dan Cherry belanda. Di beberapa RW bahkan ada yang memadukan pertanian dengan beternak ikan lele atau ikan nila.

“Untuk hasil panen diprioritaskan terlebih dulu untuk mencukupi kebutuhan masyarakat. Di Kampung Sayur Bausasran ini kegiatannya bukan hanya melibatkan ibu-ibu namun juga bapak-bapak,” akunya. (bam/all)