Oleh: Windoko, S.Pd.SD
Guru SD N 07 Wanarejan, Kec. Taman, Kab. Pemalang
BUDAYA literasi kita masih terbilang rendah. Padahal, terhitung sejak tahun 2016, sudah 7 tahun Gerakan Literasi Nasional (GLN) dicanangkan. Faktanya, hasil berbagai studi pada rentang waktu itu tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok.
Setelah GLN digalakkan, nilai literasi justru terkesan menurun. Hal itu terlihat dari skor literasi pada 2015 yang menyentuh angka 397, lalu menurun menjadi 371 pada 2018. Perolehan Indonesia pada literasi di PISA pada 2018 (371) jauh di bawah rata-rata perolehan dunia, yaitu 487.
Walau demikian, program GLN bukan program ‘makan cabai’, yakni sesaat setelah dimakan langsung terasa pedasnya. Dari kenyataan itu sudah jelas bahwa untuk meningkatkan kualitas gerakan literasi ini, yang sangat mendesak untuk diperhatikan adalah kualitas pendampingan dari guru pengampu di sekolah.
Agar kita benar-benar memahami teks yang disajikan, sedikitnya dibutuhkan dua kecakapan penting: 1) Keterampilan menangkap makna yang tersaji dalam teks. 2) Kecepatan untuk mengemas tautan makna antarteks, antara teks dan grafik, antara teks dan simbol, serta antarrelasi makna.
Hasil penelitian yang akan menjadi evaluasi bagi kita adalah sebagai berikut: 1) Soal literasi membaca PISA didominasi keterampilan berpikir tingkat tinggi yang berupa kemampuan interpretasi, refleksi, dan evaluasi.
2) Kemampuan membaca yang diujikan adalah mengungkapkan kembali informasi, mengembangkan interpretasi dan mengintegrasikan, serta merefleksikan dan mengevaluasi teks. 3) Soal cenderung menggunakan wacana panjang (135—630 kata) dan kalimat pertanyaan yang cenderung kompleks. 4) Ragam tes yang digunakan meliputi pilihan ganda, pilihan ganda kompleks, jawaban singkat, esai tertutup, dan esai terbuka.
5) Karakteristik konteks diklasifikasikan dalam empat kategori. Yaitu pendidikan, pekerjaan, personal, dan masyarakat. 6) Isi kutipan bertema keselamatan keamanan diri, bermasyarakat, cara menyelesaikan pendidikan dan iptek, serta cerita personal berisi nilai moral untuk meningkatkan kualitas hidup. Dalam hal ini kemampuan para penulis buku ajar, penyusun soal, dan juga guru dalam memfasilitasi dan membiasakan siswa dengan bacaan dan soal yang mengandung high order thinking skills (HOTS) sangat dibutuhkan.
Budaya baca yang baik ini tentu bisa diukur oleh guru setiap hari dengan memberikan tugas singkat kepada siswa untuk mencari makna dari buku yang dibaca serta merefleksikannya. Selain itu, kita harus mengatasi penyebab masalah literasi. Menurut Tahmidaten (2020), setidaknya ada 5 faktor penghalang.
Faktor penghalang pertama adalah kesalahan persepsi tentang konsep kemampuan membaca pada sebagian besar masyarakat, termasuk siswa dan guru. Sebagian besar dari orang tua dan guru merasa bahwa membaca adalah hanya mengeja. Karena itu, pola pikir bahwa membaca itu tidak hanya mengeja perlu diremajakan. Membaca adalah proses menginternalisasi ilmu dan pengetahuan dari bacaan.
Faktor penghalang kedua pengembangan kemampuan membaca masih dipersepsikan sebagai bagian dari tanggung jawab mata pelajaran bahasa saja. Padahal, literasi juga berperan dalam mengembangkan kemampuan siswa dalam membaca grafik, tabel, dan diagram.
Faktor penghalang ketiga adalah proses pembelajaran sekolah dasar masih belum memanfaatkan model, metode, strategi, dan media pembelajaran yang beragam. Sementara itu, faktor penghalang keempat adalah bahan bacaan, kegiatan pembelajaran, dan soal-soal latihan/evaluasi yang ada pada bahan ajar di sekolah cenderung masih berkutat pada keterampilan berpikir tingkat rendah. Lalu, penghalang terakhir adalah belum maksimalnya sarana prasarana dan pelayanan perpustakaan sekolah sebagai pusat pengembangan kemampuan membaca siswa.
Gerakan literasi di sekolah harus dipahami sebagai investasi masa depan. Paradigma kita pun harus dikoreksi terkait dengan pemaknaan terhadap literasi. Literasi bukan hanya soal mengeja, melainkan juga menyelami ilmu serta merefleksikannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai nilai-nilai baru yang konstruktif. (*)