SEMARANG, Joglo Jateng – Pemerintah Pusat telah menetapkan kenaikan pajak hiburan mencapai 40% per 1 Januari 2024. Di sisi lain, para pengelola hiburan tak terkecuali karaoke di Kota Semarang merasa keberatan dengan keputusan tersebut. Sebab, hal itu akan menurunkan jumlah kunjungan dan pendapatan manajemen.
Pada Rabu (17/1/2024), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, kebijakan kenaikan pajak hiburan 40%-75% ditunda penerapannya. Pemerintah akan melakukan evaluasi terhadap Undang-undang No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sembari menunggu hasil judicial review yang diajukan sejumlah asosiasi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Menanggapi hal itu, Pakar Ekonomi sekaligus Akademisi Universitas Diponegoro (Undip), Prof Dr Nugroho SBM Msi mengatakan, jika memang kenaikan pajak telah ditetapkan menjadi 40%, maka hal itu akan menimbulkan pelebaran kesenjangan antardaerah. Menurutnya, ada dampak tidak menguntungkan dengan diberlakukannya pajak ini.
“Pertama karena ini merupakan pajak daerah, maka justru akan memperlebar kesenjangan antar daerah. Maksudnya pajak ini hanya akan menguntungkan daerah-daerah yang banyak pengusaha hiburannya sehingga PAD-nya meningkat. Sementara daerah yang tidak punya tempat hiburan PAD-nya akan tetap,” ucapnya saat dihubungi Joglo Jateng, belum lama ini.
Ia menambahkan, setelah pandemi covid19 berakhir, dunia usaha termasuk dunia hiburan baru akan bangkit. Sehingga, ketika dikenai pajak hiburan maka akan memperlambat kebangkitan tersebut.
Dia melanjutkan, tujuan utama kenaikan pajak hiburan ini yaitu memandirikan kabupaten dan kota dalam hal keuangan daerahnya. Yakni supaya PAD bisa meningkat, serta ketergantungan daerah terhadap transfer dana dari pemerintah pusat kian berkurang.
“Ada baiknya pengenaan pajak ini ditunda sampai setelah pelaksanaan pemilu serentak dan pemerintah baru terbentuk. Kalau perlu UU-nya direvisi dalam hal tarifnya,” ujar Nugroho.
Dirinya berharap agar persoalan ini diberi solusi yang tepat. Seperti contohnya, pajak dibayar setengah oleh pengusaha dan setengahnya lagi oleh customer.
“Atau paling ideal ya tarifnya diturunkan dengan merevisi UU atau dengan Perpu,” imbuhnya. (int/adf)