SLEMAN, Joglo Jogja – Menghadapi ajang Pemilihan Umum 2024 pers dituntut terus independen. Hal itu lantaran intervensi yang terjadi belakangan ini, kerap mengancam keberadaannya. Bahkan intervensi tidak hanya datang dari pemerintahan, kepentingan bisnis saja. Namun, intervensi juga bisa datang dari kepentingan kelompok dan individu.
Dosen dan pengamat komunikasi politik UGM sekaligus Direktur Eksekutif Indonesiaan Presidential Studies (IPS) Nyarwi Ahmad mengungkapkan, kapanpun pers harus independen. Semangat independensi penting mengingat sebagai pilar keempat demokrasi keberadaan pers sangat dibutuhkan di tengah kehidupan masyarakat.
“Bukan hanya sebagai watchdog yang berperan mengawasi, mengevaluasi dan mengingatkan kinerja, memberi kritikan terhadap siapapun yang memimpin lembaga legislatif, eksekutif dan lembaga terkait penegakan hukum. Media juga perlu mengangkat atau merespons isu yang berkembang di dalam masyarakat baik terkait ekonomi, politik, hukum, pendidikan, kebudayaan dan hal lain,” katanya.
Meski selalu dituntut independen, media wajar memiliki orientasi tertentu atau keberpihakan selama orientasi atau keberpihakan tersebut masih dalam koridor kepentingan publik. Artinya untuk kepentingan masyarakat, kinerja media masih mengawal kepentingan publik. Hal itu bisa dilakukan dalam rangka mengkritisi atau bahkan memberikan masukan pada lingkar kekuasaan eksekutif, legislatif, dan lembaga lainnya.
“Mungkin bisa juga dengan mengingatkan masyarakat terkait beberapa hal yang krusial yang menjadi agenda publik, dimana masyarakat tidak menyadari secara penuh. Keberpihakan itu harus malah, tetapi yang perlu dijaga adalah profesionalitas dalam bekerja,” tuturnya.
Di hari pers kali ini, Nyarwi berharap insan media tetap berpegang kuat pada prinsip jurnalisme. Selain itu, juga memegang prinsip sebagai pilar keempat demokrasi.
Di tengah perkembangan platform digital dan media sosial, media tetap dituntut profesional dalam membuat cover both side, melakukan verifikasi, mencerna, dan menyaring informasi. Sehingga menghasilkan sebuah sumber berita yang kredibel dan menyajikan berita yang mencerdaskan, mendidik, dan mencerahkan.
“Di tengah perkembangan yang terus terjadi, profesionalitas, dan kapasitas kinerja dari organisasi media menjadi sesuatu yang sangat penting dikembangkan secara serius,” ucapnya.
Nyarwi mengakui media saat ini dihadapkan tantangan-tantangan lain berupa munculnya raksasa digital. Bagaimana media saat ini sangat tergantung dan dituntut adaptif.
“Media memang harus adaptif, termasuk pekerja media juga harus adaptif terhadap perkembangan komunikasi-komunikasi digital hari ini. Adaptasi ini menentukan seberapa media akan survive baik secara ekonomi politik maupun sosial,” paparnya.
Meski begitu, hasil survei IPS memperlihatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media mainstream masih lebih tinggi dibanding media sosial. Mayoritas publik percaya pada media formal, TV, radio, dan koran dibanding media sosial.
“Bagaimanapun media mainstream hingga saat ini masih menjadi acuan utama. Adaptasi disini diperlukan oleh media mainstream karena keberadaan media mainstream cukup tergantung pada platform raksasa digital,” paparnya.
Mengacu periode sebelumnya dalam konteks pemilu dan pilpres, Nyarwi melihat independensi media atau agenda setting media tidak lepas dari orientasi politik dari para pemiliknya. Di sinilah, menurutnya, situasi kurang beruntung karena media mainstream yang besar yang cukup mayoritas dimiliki orang-orang yang memiliki orientasi politik atau punya lembaga politik seperti partai politik.
Situasi semacam itu, menurutnya, justru menjadi tantangan tersendiri bagi para pengelola, jurnalis, dan pekerja di media. Dalam kondisi ini seorang jurnalis memang harus selalu diingatkan bagaimana mereka bekerja dengan prinsip-prinsip jurnalis.
“Hal lain yang bisa menolong adalah adanya aturan-aturan, misal soal regulasi kampanye. Hal semacam itu bisa menolong dan menjaga media pada relnya sebagai lembaga yang independen, yang berada di luar kekuasaan yang tugasnya menjaga kepentingan publik,” ungkapnya.
Tak hanya itu, adanya UU Pers, UU Penyiaran, dan panduan penyiaran di KPI menurutnya, bisa menjadi panduan bagaimana pers dan penyiaran tidak menyimpang. Regulasi yang lain ada di UU Pemilu dan pengawasan Pemilu.
“Dengan regulasi semacam itu diharapkan media tidak lagi bisa dimanfaatkan oleh kelompok tertentu sebagai propaganda politik atau mobilisasi politik. Karena kalau terjadi penyimpangan publik yang dirugikan, dan tingkat kepercayaan pada media akan menurun makanya tingkat kepercayaan yang tinggi harus tetap dijaga,” tandasnya. (bam/adf)