SEMARANG, Joglo Jateng – Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Jawa Tengah menyiapkan antisipasi kerawanan terkait intoleransi, radikalisme dan ekstrimisme. Hal tersebut dibahas dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Penyusunan SOP Respons Dini dan Tangkal Dini” di Kantor Kesbangpol Jawa Tengah, Selasa (19/3/24).
Hadir dalam diskusi itu beberapa perwakilan dari organisasi masyarakat baik sosial dan keagamaan. Selain itu, juga hadir perwakilan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jateng dan dari Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP).
Kepala Kesbangpol Jateng, Haerudin mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan salah satu upaya menangkal radikalisme di Jawa Tengah yang notabennya wilayah merah yang membutuhkan perhatian lebih. Dengan diskusi seperti ini, pihaknya bisa menelusuri bibit-bibit terkait dengan intoleransi dan radikalisme.
“Jadi ibarat sungai itu kita coba menelusuri ini hulunya dimana, lalu kita melakukan pembinaan-pembinaan terutama terhadap potensi-potensi intoleransi dan radikalisme itu sendiri,” katanya pada awak media usai mengikuti FGD di kantornya.
Sebenarnya, kata Haerudin, Jateng menjadi provinsi yang terbilang tinggi untuk tingkat toleransinya bahkan sudah berada di atas rata-raya nasional. Yakni diangka 74 persen dari jumlah penduduknya. Sementara tingkat intoleranya berada di angka 26 persen.
“Tapi kalau kita balik berartikan potensi intolerannya masih sekitar 26 persen. Ini harus kita bina, harus kita tingkatkan terus pembinaanya, kerja-kerja seperti ini tidak bisa berhenti,” ujarnya.
Manger Program YPP, Muhammad Riski Maulana mengaku kegiatan ini merupakan kerjasama bersama Pemprov Jateng untuk mengimplementasikan Pergub Nomor 35 Tahun 2022 tentang Rencana Aksi Daerah Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan. Pergub ini sebagai turunan dari Perpres Nomot 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penagnggulan Ekstremesme Berbasis Kekerasan.
“Fokus kami tahun ini di Jateng mendukung pemprov dalam menyusun SOP mengenai deteksi dini dan respons dini yang dikenal pemprov sebagai SITI (sistem reponsif dan deketksi dini) dan meningkatkan kewasapaan kita semua terhadap ekstremisime berbasis kekerasan di Jateng,” jelasnya.
Adapun poin dalam SOP yang disusun ialah bagaimana memberikan pemahaman bahwa isu terorisme radikalisme itu tidak hanya sebagai isu keamanan atau isu aparat penegak hukum. Tapi ini merupakan yang ada di masyarakat sehingga masyarakat harus sadar gejalanya.
“Di sini kita mencoba memberi pemahaman kalau ada perubahan di masyarakat. Siapa tahu mereka nutup diri karena sakit atau meninggal, tentu ini keterlibatan banyak stakeholder baik dari OPD maupun masyarakat sipil,” tutupnya. (luk/gih)